Ini suatu upaya memahami dari sudut pandang bahasa. Contohnya: "buku adalah alat tulis" Kebenaran kalimat ini sifatnya analitik bahasa."
Kecenderungan makna bahasa juga bisa berubah seiring waktu.
Sintetik
Sintetik berdasarkan analisa terpadu melibatkan beragam cara empati rasa, empirik, selama itu logis
Contoh: "buku adalah alat tulis" ini benar karena terbukti dipakai di banyak sekolah (empirik).
Bisa saja "buku" diartikan "alat mengungkapkan perasaan" (empati) atau "alat pencatatan dagang (sosial, juga empirik).
Maknanya juga bisa bergeser. Relatif
Posteriori
Posteriori berdasarkan empirik saja. Sehingga, lagi-lagi "buku bisa diartikan berbeda sebagai "buku adalah lembaran-lembaran pengetahuan". Namun "buku adalah alat mengungkapkan perasaan" ditolak secara posteriori jika konsep perasaan dianggap tak terbukti secara empirik
Umumnya prinsip empirik adalah "seeing is believing" terbukti dapat dilihat.
A Priori
Kalau a priori berdasarkan standarisasi di luar dimensi empirik yg memandu kita menemukan batas-batas empirik yg dimungkinkan
Ini seperti peta perjalanan yg kita sendiri tak tahu bentuknya karena ada di dimensi akal. Tak ada di kehidupan sehari-hari.
Namun ketika kita meraba peta jalan di kehidupan sehari-hari, dan ketika menemukan suatu kontur (bentuk) jalan seolah mengetahui bahwa ini jalan buntu.
Secara empirik pengamatan di dunia nyata terlihat sebuah gang, dan secara intuitif, informasi ini diteruskan ke peta di dimensi akal, dan terlihat buntu, lalu disampaikan balik ke kesadaran kita dalam bentuk intuisi yg mengatakan "sepertinya ini buntu" , dan setelah gang ditelusuri ternyata buntu.
Demikianlah pengetahuan apriori sebenarnya telah meliputi peta kehidupan kita, meliputi peta batas kebenaran yang mungkin.
Dan ketika ini teraktifkan, bisa mendownload petanya, maka mendadak kita meyakini tanpa pembuktian.
Seperti itu proses berakal. Bukan berpikir.
Contoh sederhana : "lingkaran tak bersudut", sebenarnya kita sekedar melakukan cek di suatu bentuk lingkaran. Kita tidak melakukan cek bentuk lingkaran di planet merkurius. Kita juga tak bisa menguji bentuk lingkaran di matahari apakah tak bersudut.
Bahkan kalaupun kita menemukan lingkaran tak bersudut, lalu kita tekuk agar bersudut (sehingga tak berbentuk lingkaran lagi), nalar kita tetap meyakini kalau lingkaran tak bersudut, tanpa harus melakukan cek di seluruh sudut semesta. Itu karena peta bentuk di dimensi akal telah buntu tak ada jalur lain kecuali memang lingkaran tak bersudut.
Keyakinan intuitif inilah yg menjadi dasar kebenaran universal.
PERTANYAANNYA, benarkah ada pengetahuan sebelum empirik. Adakah kebenaran tanpa bukti❓
Kalau anda amati semua penjelasan di atas, maka sebenarnya semuanya bisa kita pahami setelah kita melakukan pengamatan. Terlepas bahwa ada sistem akal yg mencocokkan bentuk pengamatan indera dengan peta di luar realita (intuisi), tetap saja tanpa pengamatan terhadap dunia nyata, maka tak akan terbentuk kesimpulan atau keyakinan intuitif atau keyakinan empirik berdasarkan bukti sains atau apapun istilahnya.
Jadi sebenarnya pengamatan terhadap realita menentukan bagaimana kita memperoleh pengetahuan, meskipun jalurnya berbeda-beda
Memori - Imajinasi
Ketika seseorang tak memerlukan pengamatan. Hanya sebatas memahami makna bahasa. Itupun sebenarnya melibatkan memori atau imajinasi tentang makna dari kata.
Akurasi Pemahaman
Justru umumnya akurasi kita dalam memahami (ketika tanpa ada bendanya di depan mata), diperlukan imajinasi agar makna dari suatu kata dapat diamati sudutnya secara teliti
Makna Kata & Makna Kalimat
Meskipun saat membaca kalimat kita telah cepat memahami tanpa perlu berimajinasi, sebenarnya justru akurasinya berkurang.
Di titik ini pemahaman kita seperlunya tanpa detail. Ini diperlukan agar proses komunikasi berjalan dengan cepat, sehingga tanggapan juga cepat diperoleh.
Mengabaikan Detail Demi Kecepatan
Meskipun detailnya sedikit, namun itu detail dari suatu makna kata yg umum dipakai. Yang sering dipakai, jadi sudah tahu sama tahu.
Dampaknya, proses komunikasi cepat, namun bisa terjadi ambiguitas.
- Contoh: "saya mau makan" = ada yg mau dimasukkan ke mulut. Ini pemahaman umum. Namun ketika ada seseorang beda budaya, beda kebiasaan, maka konsep "makan" bisa beda konteks diartikan sebagai "mencaplok". Apalagi sepotong-sepotong kalimatnya, tak utuh.
Tumpang Tindih Karena Adaptasi
Segala hal ini, yaitu serba cepatnya komunikasi, kalimat tak lengkap, dan beda konteks, ketika banyak berdatangan dari berbagai sumber, memaksa kita membuat prediksi secepat-cepatnya mengikuti makna yg umum. Padahal ada terselip yg beda konteks.
Campur aduknya ini membuat konteks yg berbeda kalah posisi dan mencoba menyesuaikan dengan pendapat umum. Maka konteks yg sebenarnya memang berbeda lalu diubah menjadi konteks umum yg salah.
- 👉 Hal inilah yg bertumpuk-tumpuk tanpa disadari membentuk ambiguitas.
Contoh: mereka berkata "minum yg banyak agar kenyang". Konteksnya beda dan ada yg protes "saya perlu makan bukan minum", namun karena kenyataannya tak ada makanan maka adaptasinya melalui meminum demi agar kenyang. Hal ini bisa menggeser konteks yg awalnya berurusan dengan makanan, bergeser ke minuman untuk mengenyangkan
Kelak bisa timbul ambiguitas bahwa untuk kenyang ga selalu harus melalui makan tetapi ada cara lain.
Hal-hal adaptasi seperti ini yg dikarenakan gerak cepat kehidupan, memaksa batas kontekstual bergeser.
Pergeseran Konteks
Parahnya lagi adaptasi kontekstual ini tak merugikan. Membuat yg lapar jadi kenyang, juga berasa enak, sehingga secara umum diterima.
- Pola seperti ini bisa saja diterima dari sudut pandang ini, namun jika pola ini dipakai dari sudut pandang KeTuhanan, atau etika, moralitas, keadilan dan hal-hal filosofis lainnya, dapat sedemikian mengacaukan.
Contohnya: "kalau lapar bisa dihilangkan dengan meminum" diadaptasi ke "kalau gagal memperoleh satu cara, gunakan cara lain yg penting hasil sama"
- 👉 Ini bisa menjadi kacau ketika diyakini pengkutnya dan beranggapan "gagal berdoa ya minta tolong orang, yg penting ada hasil" dan hal lain yg lebih rumit.
Hal ini pada akhirnya mengacaukan atau menggampangkan pola memahami suatu kasus, yg tanpa disadari juga mempengaruhi pola pikir yg konteksnya beda tipis yg penting hasil. Padahal sebenarnya "beda tipisnya" itu kalau direnungkan detailnya beda antara langit dan bumi.
Mendeteksi Ambiguitas
Ambiguitas itu sebenarnya tak terdeteksi. Terdeteksinya adalah ketika ada orang kritis yg rela berpikir dalam, sabar & skeptis (tak mudah percaya), maka ambiguitas ini terdeteksi, dan disadarilah adanya ambiguitas (ketakjelasan)
Nah, di sinilah diperlukan pengamatan imajinatif terhadap makna kata, agar kesadaran kita terhubung ke memori tentang objek nyata dibalik makna kata, agar detailnya lebih terlihat, sehingga nampak dimana ambiguitasnya yg menimbulkan salah paham
DAN SEKALI LAGI, MESKIPUN TIDAK MENGHADAPI OBJEK NYATA, DAN SEKEDAR MENGINGAT MELALUI MEMORI IMAJINATIF, INI NAMANYA JUGA SEBENARNYA MEMERLUKAN BUKTI EMPIRIK SECARA TAK LANGSUNG. ARTINYA❓
Tak ada pengetahuan yg diperoleh tanpa bukti pengamatan indera. Selalu semuanya diawali melalui pengamatan
KEBENARAN TANPA BUKTI
Jadi❓Tak ada kebenaran tanpa bukti❗️
Konsep analitik-sintetik, apriori & posteriori itu tetap perlu untuk menandai jenis perolehan pengetahuannya.
Identifikasi ini, pelabelan ini, penggolongan ini tetap diperlukan demi lancarnya komunikasi & demi mudahnya mengamati jejak kontekstual. Namun tak berarti lalu menegaskan adanya pengetahuan tanpa bukti.