ANTARA TERPAKSA, SUKARELA & PATUH

Seremonia
5 min readMar 28, 2024

--

Photo by Christopher Campbell on Unsplash

Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:

"Tidak ada paksaan dalam agama, sesungguhnya telah jelas antara jalan yang benar dengan jalan yang sesat. Barang siapa ingkar kepada Tagut dan beriman kepada Allah, maka sungguh, dia telah berpegang pada tali yang sangat kuat yang tidak akan putus. Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui."
(QS. Al-Baqarah 2: Ayat 256)

Di sini Al Quran mengajarkan dialektika melampaui GPT, yang umumnya (AI - kecerdasan buatan) sekedar melengkapi kalimat dengan kata yang populer (secara statistik)

Berbeda pada Al Quran, dimana ambiguitas diatasi dengan format yang koheren - sinkron.

Dimana pengajarannya dialekikanya❓

⭕️ Kita bisa memahami ayat ini seperti ini ... "tak ada paksaan dalam beragama, tetapi di azab?"

📌 Seharusnya memahami dialektikanya sebagaimana yang dijelaskan ayat tersebut ...

〰 Tak ada paksaan dalam beragama (barang siapa beriman ... maka ... berpegang pada tali yang sangat kuat - kebenaran- yang tidak akan putus) yang berarti "yang ingkar akan diazab"

  • 👉 Pilihannya dibebaskan, sehingga ketika di azab, itu berarti sudah sesuai resiko dari pilihannya

✅ Pilih sakit atau sehat? Bebas, ga ada paksaan, tetapi akan cenderung menderita kalau pilih sakit

✅ Artinya resikonya sesuai, sehingga tak akan terjadi "yang ingkar masuk surga" dan "yang patuh" masuk neraka"

Kalau dibalik ..

  • ✅ "Tak ada paksaan dalam beragama, tetapi di azab?"

Menjadi ...

  • ✅ "Ada paksaan supaya kamu memperoleh kebahagiaan"

♦️Hanya saja kebijaksanaan Allah dijelaskan di sini

Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:

"...Datanglah kamu berdua menurut perintah-Ku dengan patuh atau terpaksa." Keduanya menjawab, "Kami datang dengan patuh.""
(QS. Fussilat 41: Ayat 11)

📌 Datang dengan patuh (lawannya terpaksa = sukarela - tak ada paksaan)

  • Sehingga "tak ada paksaan dalam beragama" = "patuhlah kepada-Nya atau di azab"

🧩 Lebih mendalam lagi ... "tak ada paksaan, karena sebenarnya telah jelas ... sehingga seharusnya tak dipaksa pun akan patuh ... dan kalau tak dipaksa pun berujung di azab, itu karena mereka tak menyadari secara jelas resiko pilihannya yang bisa membawa kepada azab"

🔰 (QS. Al-Baqarah 2: Ayat 256)
Kalau disatukan sebagai satu dialektika yang lengkap❓

  • 〰 "Sebenarnya, kalau dipaksapun akan berakhir baik, namun karena mereka tak jelas, sehingga jangan dipaksa, agar nanti memperoleh kejelasan sendiri dan sadar bahwa ujung-ujungnya akan jelas yang membawa kepatuhan secara sukarela"

Berbeda dengan firman-Nya kepada alam semesta

Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:

"...Datanglah kamu berdua menurut perintah-Ku dengan patuh atau terpaksa." Keduanya menjawab, "Kami datang dengan patuh.""
(QS. Fussilat 41: Ayat 11)

📌 Di sini, lawan dari terpaksa adalah sukarela, sehingga ketika Allah menegaskan kepatuhannya, berarti ...

  • 1⃣ "Kepatuhan yang sukarela atas dasar telah jelas"

Pada ayat ini (QS. Al-Baqarah 2: Ayat 256), formatnya berbeda ... yaitu "tak ada paksaan" adalah lawan dari "terpaksa", dengan tambahan "... sesungguhnya telah jelas antara mana yang benar & yang sesat", YANG BERARTI ...

  • 2⃣ "Kalau belum jelas, carilah kejelasan, agar bisa patuh secara sukarela"

META DIALEKTIKA
🎯 Relevansi (Meta Dialektika)
🎯 Relevansi (Dialektika HEGEL)

DIMANA KEAJAIBAN DIALEKTIKANYA YANG TERSAMAR YANG HANYA YANG TERLIBAT YANG PAHAM. ARTINYA❓Allah tahu berhadapan dengan siapa, sehingga pernyataannya kontekstual (adil)

Allah menyesuaikan keadaan, karena alam tahu bahwa perintah Allah telah jelas membawa kebaikan, jadi tentu bersikap "sukarela". Namun ditambahkan lagi "atau terpaksa".

Bukankah Allah tahu kalau alam tahu kebaikan-Nya, kenapa masih diancam dengan "terpaksa". Ya karena ketika "alam sudah tahu kebaikan-Nya dan bisa membangkang (seperti iblis yang sudah tahu tapi masih membangkang), maka sudah disiapkan alternatifnya "dipaksa" yang menandakan keingkaran alam (yang ternyata tak membangkang)

Tetapi pada manusia, tak dipaksa, karena keadaan manusia dapat sedemikian bingung, sehingga tak dihakimi ingkar, melainkan diberi kesempatan mencari kejelasan (meskipun sudah disindir oleh-Nya "telah jelas sebenarnya", tetapi masih diijinkan mencari tahu sendiri)

📌 Hikmahnya❓Jadi ... 1⃣ Terpaksa dan 2⃣ lawannya (sukarela) yang menjadi syarat kepatuhan (secara sukarela). dengan 3⃣ "kejelasan" membentuk dialektika ...

1⃣ Jika sukarela berarti ketulusannya berdasarkan kejelasan, bukan kebingungan

2⃣ Jika terpaksa, berarti paksaannya harus membawa kebaikan, karena keadaan memaksa itu harus dilakukan dengan kejelasan

👉 Jika terpaksa karena tak jelas berarti itu salah pada yang memaksa, sehingga seharusnya tak ada paksaan agar bisa mencari bukti sampai pada akhirnya jelas lalu sukarela tanpa paksaan

👉 Jika yang memaksa sudah menjelaskan, dan yang dipaksa sudah jelas duduk perkaranya, dan masih melanggar, maka pemaksaannya bukan lagi suatu pemaksaan yang semena- mena, melainkan memaksakan kepada orang yang telah jelas baik buruknya dan masih ingkar, sehingga harus dipaksa agar tak merugikan

  • 〰 Jadi terpaksa itu hanya karena ingkar
  • 〰 Jika seseorang terpaksa dalam ketidaktahuan, berarti ada ketidakadilan (menzalimi) dari pihak yang memaksa

META DIALEKTIKA vs DIALEKTIKA HEGEL

Meta Dialektika harus berlandaskan Al Quran. Bukan sekedar karena alasan dogmatis (karena benar ya harus diikuti, meskipun memang benar), namun juga karena alasan masuk akalnya (objektif).

JADI MEREKA YANG MENUDUH "AL QURAN" SEBAGAI CARA UNTUK BERALASAN YANG KAKU DOGMATIS TAK OBJEKTIF❓Oops anda salah, justru dibalik dogmatis, dibalik dalil, ada pola yang objektif

Lihatlah, betapa sistematisnya pernyataan di Al Quran, mengajari meta dialektika (yang melampaui dialektika) yang umumnya dikenal.

Konsep dialektika yang fungsinya mirip pada meta dialektika, bisa dilihat pada dialektika Hegel (tesis + antitesis = sintesis), dimana kita dilatih melihat hikmah (sintesis) dari hal yang bertentangan. DAN GPT BISA MEMBUAT KALIMAT ATAU PARAGRAPH MENJADI FORMAT DIALEKTIKA HEGEL. NA-MUUUN ...

Konversi Kontekstual

Ketika kecerdasan buatan, diminta melakukan konversi kontekstual, itu hanya sebatas mencari kecocokan antar makna, atau paling tinggi sebatas dialektika hegel, atau menalar matematis atau lainnya. Belum bisa melengkapi menjadi kalimat yang kokoh karena tak mampu melakukan konversi kontekstual (perlu lebih dari sekedar data yang besar. yaitu perlu keselarasan makna yang mendasar)

JADI❓ "tiada paksaan dalam beragama" tetapi mengapa di azab? HARUS DIPAHAMI TAK SEPOTONG- SEPOTONG, MELAINKAN ...

♦️ "Tiada paksaan (bagi yang belum jelas, untuk mencari kejelasan terlebih dahulu, agar setelah jelas) dalam beragama (dapat dilakukan secara sukarela - tulus) tetapi mengapa (setelah diberi kesempatan dan seharusnya telah jelas karena kebenaran itu fitrah - mudah dipahami, justru ingkar karena tertutupi ego yang buruk, sehingga akan) di azab❗️

  • ✅ Tiada paksaannya harus tak berlandaskan ego buruk yang membebaskan desakan fitrah dari hawa nafsu yang buruk

📌 Secara sangat sederhana ...

  • ✅ "Tiada paksaan dalam beragama agar kamu dapat kesempatan mencari bukti kebenaran, dan jika telah diberi kesempatan tetapi tak dipakai untuk mencari bukti, tentu ujung - ujungnya bukan kepatuhan dan tentu akan di azab.
  • ✅ "Tiada paksaan dalam beragama, tetapi mengapa di azab?" . Bahwa tiada paksaannya justru menegaskan diberi konsekuensi resiko yang berbeda, tak dibatasi oleh-Nya. Yang jika di azab, berarti dalam ketidak-terpaksaannya telah memilih langkah yang beresiko di azab.

⭕️ Jadi jangan asal mempersempit konteksnya

--

--

Seremonia
Seremonia

No responses yet