Apakah “Ada” & “Tuhan”?

Seremonia
9 min readAug 18, 2019

--

Benarkah kita tidak memerlukan untuk memastikan keberadaan Tuhan? Jawaban saya sederhana, tetapi disimpulkan ke dalam suatu pertanyaan yaitu: apakah gagasan Tuhan itu mengancam anda (secara bagaimanapun menurut anda)? Artinya, apakah anda merasa terancam dengan ide tentang Tuhan?

Jika anda merasa terancam dengan ide tentang Tuhan, atau paling tidak anda ingin memastikan benarkah bahwa gagasan tentang Tuhan memang merupakan ancaman, lalu hal ini tetap berlanjut sampai sekarang, maka sebaiknya anda memberikan sedikit (atau banyak juga boleh jika memiliki ketahanan di dalam mencari kepastian tentang keberadaan Tuhan), yaitu perhatian di dalam memastikan ada atau tidaknya Tuhan.

Sebelum melanjutkan lebih dalam kepada pembahasan pembuktian tentang keberadaan Tuhan, perlu dipahami beberapa dari kita di dalam menanggapi tentang keberadaan Tuhan. Jika pada akhirnya anda meyakini bahwa Tuhan itu ada tanpa melakukan tindakan lebih lanjut untuk menanggapinya selain dari hanya sekedar mengetahui saja, ini merupakan kesia-siaan. Terlepas dari kebingungan anda di dalam menemukan agama yang sesuai atau pendekatan lainnya, tetapi hal yang utama harus dipahami yaitu, kalau menurut anda Tuhan tidak merupakan ancaman bagi anda, maka apakah memang apa yang menurut anda bukan merupakan ancaman adalah memang selalu bukan merupakan ancaman di kemudian hari? Adakah ukuran bahwa jika sesuatu tidak mengancam selama selang beberapa waktu, lalu dianggap sebagai tidak merupakan ancaman untuk selamanya? Ini suatu penilaian yang tergesa-gesa dan merupakan suatu kecerobohan.

Tahap awal untuk memastikan keberadaan Tuhan adalah melihat kebenaran pada: apakah yang terkandung di dalam "Tuhan itu Ada"?. Ada dua hal yaitu “Ada” & "TUHAN". Mari kita memahami satu persatu hal ini, yaitu “Ada” & "TUHAN".

Mendefinisikan “Ada” tidaklah merupakan pendefinisian yang lengkap. Namun demikian, paling tidak di dalam definisi tentang “Ada” terpahami hal yang memampukan kita untuk mengenali “Ada” seluas mungkin yang juga semoga dengannya memampukan kita untuk meletakkan diri sendiri kepada kemungkinan adaptasi terbaik, sehingga diharapkan juga paling tidak memberikan antisipasi terbaik bagi masa sekarang maupun masa depan, dari hal yang sebelumnya ditolak ke”Ada”-annya

Mengenali sesuatu adalah mengenali batas-batas, sehingga tanpa batas-batas adalah tanpa pengenalan (paling tidak bagi persepsi kita), maka (bagi saya) “Ada” selalu dengan batasan. “Ada” (bagi dirinya sendiri) adalah “dengan batas-batas”.

Batasan dari sesuatu bagi persepsi kita merupakan “hal yang merubah keadaan persepsi kita” sehingga kita mempersepsi “Ada” yang tertentu yang sesuai dengan perubahan pada persepsi kita. Ini menegaskan adanya perubahan keadaan pada persepsi kita, yang berarti juga menegaskan perubahan batasan pada persepsi kita. Perubahan batasan pada persepsi kita menegaskan telah terjadi pembatasan pada persepsi kita. Sehingga dapat disimpulkan bahwa “Ada” bagi kita adalah “yang membatasi persepsi kita”.

Ada beberapa kemungkinan saling membatasi yaitu keberadaan "A" dan "B" berlaku sebagai berikut: "sesuatu A" dan "sesuatu B", dimana "A" membatasi "B", untuk "A" & "B" dikenai status masing-masing sebagai universal dan partikular, sehingga:

1. "A" tertentu membatasi “B” tertentu
2. "A" tertentu membatasi “B” secara menyeluruh

Butir 1. mencerminkan keberadaan secara umum (sejauh kita persepsi dalam kehidupan sehari-hari di dalam dunia empirik). Butir 2. adalah merupakan "keseluruhan batasan" (sesuatu yang meliputi seluruh batasan).

Dari hal ini dapat ditegaskan batasan sebagai beberapa hal:

1. Suatu batasan tertentu yang bersandar kepada batasan lain yang meliputinya. Batasan ini sebenarnya merupakan kualitas dari suatu batasan yang meliputinya, sehingga kualitas ini dapat beragam (berubah-ubah). Ini adalah batasan yang relative.

2. Suatu batasan lebih luas yang meliputi batasan yang relatif. Batasan ini merupakan suatu integritas yang mewadahi satu atau sejumlah kualitas tertentu. Dalam arti bahwa batasan yang meliputi ini merupakan tempat bersembunyi bagi suatu batasan (relative) tertentu (agar dapat menampakkan batasan (relative) tertentu lainnya).

Kemudian disimpulkan tentang kemungkinan “Ada” sebagai:

1. “Ada” yang merupakan kualitas dengan batasan tertentu. “Ada” pada level ini adalah sejauh dapat dipersepsi oleh kita, dalam arti "ia membatasi persepsi kita", maka kita akan menganggap sebagai realita. Mengapa? Karena realita adalah apa yang dipersepsi oleh kita. Bagi kaki yang tidak dapat mempersepsi sesuatu, tetapi bagian lain dari kita dapat mempersepsinya, maka itu sudah merupakan realita. Karena “Ada” adalah "yang membatasi kita", maka segera setelah kita terbatasi (karena suatu bentuk persepsi tertentu), maka ia menjadi "Ada

2. Adanya perubahan kualitas menunjukkan harus adanya tempat untuk menghilangnya (bersembunyinya) suatu kualitas untuk digantikan dengan kualitas lainnya, maka ini menegaskan “Ada” lainnya yang mewadahi “Ada” (pada butir 1.). Ini adalah merupakan “Ada” yang meliputi kualitas. Keseluruhan kualitas adalah merupakan keseluruhan batas-batas, sehingga “Ada” pada level ini adalah merupakan "Keseluruhan batasan".

Dari sini ditegaskan adanya dua kemungkinan keberadaan dalam kaitannya dengan “Ada” & “Tuhan”:

1. “Ada” adalah "dengan batas-batas, yang dengannya membatasi persepsi kita” (sehingga kita menyadari keberadaannya),

2. "TUHAN" adalah "keseluruhan batasan yang mewadahi segala kemungkinan penampakan batasan-batasan” (yang merupakan kemungkinan penampakan dari “Ada”). Mengapa kita memilih definisi Tuhan sebagai "Keseluruhan batasan"? Pemilihan ini terjadi sebagai konsekuensi logis dari kemungkinan lain selain dari "yang membatasi kita" (yang merupakan keberadaan secara umum).

Agar tidak terjadi salah paham, perlu dijelaskan satu contoh yang sedemikian halus (tipis, samar) di dalam persepsi kita, agar tidak mengacaukan pemahaman yang telah ditegaskan tentang “Ada”. Apakah contoh itu? Yaitu ilusi. Apakah ilusi itu “Ada” atau bukan (tidak) “Ada”? Menurut definisi tentang “Ada” dapat dipahami bahwa ilusi adalah juga merupakan keberadaan. Perbedaannya dengan apa yang dianggap bukan sebagai ilusi adalah bahwa ilusi menampakkan ke “Ada”-annya hanya melalui persepsi tertentu pada diri kita. Maksudnya begini, jika dibandingkan dengan sesuatu empirik sebagai contoh batu yang dapat dipersepsi oleh tangan (tidak hanya mata, melalui sentuhan), maka batu adalah “Ada” karena membatasi persepsi (tangan dan kaki) kita.

Sedangkan (anggaplah) batu yang bersifat ilusi, yang dengannya batu ilusi tersebut hanya membatasi persepsi indera penglihatan kita (penglihatan kita menjadi terhalang oleh penampakan ilusi berbentuk batu), tetapi tidak membatasi persepsi oleh kaki (dalam arti, ketika kaki menendang, maka tidak ada sensasi sentuhan), ini berarti dapat dikatakan bahwa batu ilusi adalah “Ada” sejauh apa yang dapat dipersepsi oleh kita (hanya pada level indera penglihatan), tetapi bagi kaki dapat merupakan hal yang tidak “Ada”. Dari sini dapat disimpulkan bahwa bagaimanapun ilusinya sesuatu, tetapi sejauh anda dapat mempersepsi kehadirannya, maka ilusi tersebut adalah “Ada” pada level tertentu sesuai level persepsi. Mengapa? Karena ilusi tersebut merupakan “Ada” yang membatasi persepsi (dengan cara tertentu dari) anda. Apa yang tidak membatasi kita bukan merupakan “Ada” pada level tertentu.

Pertanyaannya adalah apakah yang kita pahami merupakan keberadaan? Ya. Karena pemikiran terbatasi oleh batasan-batasan yang menggambarkan tentang “Ada”nya sesuatu. Tetapi “Ada”nya sesuatu yang kita pahami dengan “Ada”nya di dalam kenyataan sehari-hari adalah merupakan “Ada” dengan kualitas yang berbeda. Tetapi keduanya merupakan “Ada”.

Ketika kita berada di alam mimpi dan mengalami mimpi jelas (lucid dream), maka terbatasinya kita sedemikian rupa membuat kita merasakan keberadaan di alam mimpi bagaikan nyata seperti di dunia di luar alam mimpi. Pada tahap ini, kita harus mengakui bahwa “Ada” di alam mimpi adalah “Ada” secara lengkap sejauh ia mampu membatasi hampir seluruh cabang kesadaran kita di alam mimpi. Di mulai dari menendang, menyentuh dan semua cabang kesadaran terbatasi oleh “Ada” di dalam mimpi yang jelas, sehingga kita mempersepsi sebagai hal yang mirip (setelah dilakukan penalaran) dengan apa yang di alami pada kenyataan di luar mimpi. Ini adalah juga “Ada”. Jadi, manakah menurut anda yang paling nyata, yaitu “Ada” di dunia mimpi atau di dunia diluar mimpi? Tergantung dari seberapa jauh “Ada” di antara kedua alam mampu membatasi kita. Jika dianggap “Ada” dari kedua alam (mimpi dan bukan mimpi) mampu membatasi persepsi kita dengan penalaran yang menyimpulkan adanya kesetaraan, maka begitulah “Ada”nya.

Yang membuat kita merendahkan derajat kenyataan di alam mimpi dibandingkan dunia di luar mimpi, adalah keterancaman di antara dua dunia yang cenderung ditafsirkan berbeda. Bagi yang merasa dunia di luar mimpi lebih mengancam baik untuk jangka panjang, maka tentu kita akan merasa lebih perlu menanggapi dunia di luar mimpi yang menjadi terkesan lebih nyata dibandingkan dunia di alam mimpi. Berbeda jika misalkan anda tertidur, lalu bermimpi lebih banyak daripada saat anda bangun, dan di alam mimpi pengalaman “Ada” yang membatasi anda sedemikian kuat dan mengancam, maka tentunya anda merasa bahwa anda sedang dalam keadaan terancam (bahkan walaupun pada awalnya anda menganggap ini hanya alam mimpi), dan tentu anda akan berusaha lari darinya. Maksudnya disini, saya ingin menegaskan bahwa “Ada” jika diukur dari pengalaman kehidupan sehari-hari pada umumnya, cenderung mengaburkan makna “Ada”, tetapi dengan memahami “Ada” secara lebih tepat, maka anda tidak hanya mampu memahami “Ada” lebih baik lagi, tetapi hal ini membawa anda kepada kemampuan untuk mengantisipasi kemungkinan terhadap “Ada” dimanapun itu (bukankah ini lebih baik !).

Jadi, daripada mengakui “Ada” sejauh hal itu di ukur secara empirik, maka lebih baik mengakui “Ada” sejauh itu membatasi persepsi kita, sehingga pemahaman ini memampukan kita untuk menginteraksikan dengan berbagai tipe “Ada” yang berbeda (tanpa terburu-buru menolak “Ada”nya sesuatu), yang dapat membuat kita lebih memperluas pemahaman tentang kemungkinan penampakan dari “Ada” dan boleh jadi dapat mengambil manfaat darinya.

Satu hal lagi yang perlu diketahui agar tidak terjadi kerancuan di dalam pemahaman, ketika menggunakan kata "ada" yang sebenarnya punya makna (arah) yang berbeda, dipakai untuk menunjuk keber-"ada"-an sesuatu.

Ada banyak "Ada" disini yang sebenarnya terbagi dari "ada" yang diartikan sebagai eksistensi itu sendiri (menunjukkan kesatuan antara "ada" dengan sesuatu), dan "ada" lainnya hanya sebagai "pengakuan" keberadaan sesuatu (menunjukkan keterpisahan di antara "ada"nya sesuatu dengan "yang mengamatinya, yang menyadarinya).

Sebagai contoh: "Ini ada", maka "ini" adalah "memiliki batas-batas" (yang memiliki "ada"nya sendiri, tanpa perlu dijelaskan dengan kata "ada"), adalah memang "ada" (dalam arti saya mengakui). "ada" pada "ini" merupakan kesatuan (dalam arti menunjuk kepada "ini" adalah sama saja dengan menunjuk kepada "ada"), sedangkan kata "ada" pada "ini ada" adalah "memang ada" yang merupakan pengakuan bahwa sesuatu ("ini") bagi pengamat tertentu diakui batasan-batasannya. Jadi disini, Seorang pengamat mengakui (dengan menyertakan kata "ada") atas "adanya sesuatu" (yaitu "ini"), sehingga menjadi "ini ada".

Menyatakan "ini" tanpa "ada", sama saja mengakui "ini" memang "ada" bagi diri kita sendiri. Tetapi ketika kita diminta penegasan tentang eksistensi Tuhan, maka "ada" harus disertakan pada "Ini" menjadi "ini"+"ada", dimana "ada" disini bukan berarti "ini" = "ada", tetapi "ada" disini merupakan pengakuan. Bagi yang telah menyadari eksistensi dari "Ini", maka tanpa "ada", "Ini" sudah merupakan suatu eksistensi.

Kesimpulannya: "Ini+ada" dapat dijabarkan sebagai berikut = "Ini yang ada"+ "memang ada" = "Ini yang ada"+"memang terbukti". Dengan mengarahkan kepada "Ini" sudah melibatkan keberadaan (batas-batas), dan dengan disertakan (+) "ada" (mengakui - suatu sikap, kesadaran dari pengamat, terpisah dari "Ini"). Atau susunan apa adanya seperti ini: "Ini ada" = "Ini yang ada memang ada". Jadi walaupun hanya nampak satu kata "ada" di kalimat "Ini ada", sebenarnya kalau di zoom, nampaklah dua "ada", yaitu "ada" sebagai "ini" dan "ada" sebagai pengakuan (menunjukkan ada pihak lain yang terpisah sebagai pengamat.

Jadi ketika dinyatakan "Tuhan itu ada" = "Tuhan yang adalah ada, memang ada" (saya akui, saya sadari), atau "Tuhan itu ada" = (Tuhan = ada) itu memang ada. Ada = "adanya sesuatu" (yaitu Tuhan) saya akui (dibuktikan dengan melibatkan kata "ada"). Jadi "ada" pertama menyatu dengan Tuhan dan masih merupakan sepenggal saja yaitu "Tuhan", kemudian "ada" kedua bukan menyatu dengan Tuhan (eksistensi) tetapi pernyataan sikap (mengakui).

Jadi "Tuhan itu ada" = "Yang meliputi batas-batas" (Tuhan itu) adalah "ada" (hanya merupakan penegasan bahwa "Tuhan itu" yang adalah eksistensi, saya sadari = "memang ada")

Jadi dalam hal ini, melibatkan "ada" pada "Tuhan itu ada" telah jelas maksudnya (arahnya). Dan tidak ada yang berubah di dalam pengertian bagi pihak lain pada umumnya, dalam arti dapat diartikan apa adanya sebagai "terbukti Tuhan itu ada" tanpa menimbulkan pengertian tumpang tindih. Masalahnya adalah berbeda bagi anda yang melihat adanya kejanggalan. Jadi bagi seseorang yang memahami "Tuhan itu ada" sebagaimana pada umumnya, maka itu telah selesai, dan bagi anda (yang sangat kritis) juga sebenarnya sudah selesai (anda dapat mengartikan bagi anda sendiri yang tidak bertentangan dengan penalaran anda, sebagaimana yang baru saja saya jelaskan).

Jadi tidak ada lagi kerancuan dalam memahami posisi kata "ada" di suatu pernyataan "Ini ada", atau "Tuhan itu ada".

Beberapa level "Ada" adalah sejauh persepsi, ini tidak berarti bahwa "ada" bagi seseorang belum tentu "ada" bagi lainnya, tetapi bahwa ketika seseorang tidak dapat mempersepsi "ada" (yang dapat dipersepsi oleh orang lain), maka tidak berarti tidak "ada", namun boleh jadi ke"ada"annya belum dipersepsi. Dan sesuatu "ada" yang hanya dipersepsi melalui mata dan belum (atau tidak) dapat dipersepsi melalui kaki (ditendang), maka "ada"nya sesuatu tersebut bagi seseorang adalah nyata sejauh penglihatan, dan bagi orang lain yang mampu mempersepsi lebih dari sekedar melalui penglihatan, dikatakan ia lebih menyadari keber"ada"annya dibandingkan orang yang mempersepsi keber"ada"an hanya melalui penglihatan.

Setiap kebenaran axiomatis adalah suatu keber"ada"an, sehingga sesuatu menjadi diketahui keber"ada"annya bukan hanya karena dipersepsi melalui indera penglihatan, sentuhan dari tangan dan kaki, namun memahami suatu kebenaran yang axiomatis dan mengakibatkan terbatasinya kesadaran kita, maka itu berarti telah menemukan suatu keber"ada"an yang batasannya termuat di dalam pemahaman tentang suatu kebenaran axiomatis itu sendiri, dan ini adalah juga merupakan mempersepsi suatu keberadaan. Jadi definisi "ada" sebagai "yang membatasi persepsi kita", bukan hanya sejauh menemukan "ada" melalui indera penglihatan atau sentuhan tangan, tetapi pemahaman yang membatasi kesadaran kita tentang "ada"nya sesuatu, itu sama saja telah menemukan keber"ada"an sesuatu.

Setiap orang memiliki perluasan kemampuan mempersepsi yang berbeda, dan perbedaan tersebut menentukan sampai seberapa jauh pengetahuan tentang suatu keber"ada"an, dan boleh jadi juga menentukan sampai seberapa jauh mampu berinteraksi dengan suatu keber"ada"an.

--

--

Seremonia
Seremonia

No responses yet