Apakah Anda Atheis? Burden of Proof

Seremonia
7 min readSep 28, 2020

Burden of proof adalah beban pembuktian, atau bahasa sederhananya, "yang berkewajiban membuktikan"

Pihak ateis menegaskan ke teis ... "siapa yang promosi ya mereka yang buktikan keunggulannya", itu dari sisi ateis yang merasa mereka tidak perlu membuktikan penyangkalannya.

Bukankah yang pertama kali memaksa adalah teis, dengan mengatakan "ada Tuhan" (disini menulis "Tuhan" huruf awalnya harus huruf besar, bukan "huruf kecil "tuhan") ...

Benar, mereka yang memaksa, tentu mereka yang membuktikan, dan ateis tidak perlu membuktikan "ketiadaan Tuhan" karena alasan:

  • teis yang memulai promosi
  • ateis hanya menyangkal
  • penyangkalan bersifat negatif ("tidak") sehingga sulit membuktikan kalimat negatif

Lalu benarkah ateis tidak punya kewajiban untuk membuktikan penyangkalannya?

Ateis tidak berhak membuktikan penyangkalannya, dan sebenarnya ini dapat dipersempit menjadi hanya sedikit argumentasi saja:

  1. mereka (ateis) merasa telah selesai, telah tuntas menyadari ketiadaan Tuhan
  2. tiada paksaan dari teis ke ateis (demikian juga sebaliknya), kecuali jika memang ada kesepakatan diantara berdua untuk mendiskusikannya

Ini adalah aturan yang harus dipahami kedua belah (teis & ateis)

Tetapi ketika keduanya terlibat dalam diskusi, maka keduanya berkewajiban (burden of) membuktikan (proof)

Hanya saja ketika saling debat, ternyata perdebatan berputar-putar tidak jelas. mengapa? karena

  • keduanya menggunakan standard yang berbeda (ateis berdasarkan penglihatan "saya tidak melihat Tuhan yang tidak bisa dilihat" atau atas dasar "ketidakadilan di dunia oleh Tuhan Yang Maha Adil" dan seterusnya .. sedangkan standard teis berbeda lagi: keimanan, bukti penalaran akan adanya keharmonisan | singkatnya , pada akhirnya keduanya saling bertentangan terus-menerus tanpa ada upaya sinkronisasi, masing-masing merasa cara memperoleh pengetahuannya adalah yang paling valid
  • ateis berputar-putar mendebat kesana kemari dan tidak fokus pada pembuktian "Tuhan tidak ada" seperti yang diminta teis ("buktikan kalau Tuhan tidak ada"), karena memang mereka juga sampai detik ini bingung bagaimana membuktikan "Tuhan tidak ada", bagaimana membuktikan sesuatu yang (telah diyakini) tidak ada

Jadi begitulah seterusnya perdebatan menjadi salah jalur dan tak berkesudahan.

PENYANGKALAN - BURDEN OF PROOF (ATEIS ATAU TEIS)

Ketika seseorang melakukan suatu penyangkalan, maka harus jelas apakah penyangkalan universal atau partikular?

Penyangkalan absolut atau relatif?

"batu itu ada" maka penyangkalannya "tiada batu di beberapa tempat" atau "tiada batu dimanapun"

Terkait dengan masalah KeTuhanan, maka seharusnya bentuk penyangkalannya bersifat universal, bukan partikular. Mengapa?

Karena jika bentuk penyangkalannya partikular (hanya sebagian saja, tidak menyeluruh), maka jadilah seperti ini "tiada Tuhan di sana" dan ini mudah dipatahkan oleh teis dengan mengatakan "berarti boleh jadi ada Tuhan disana", maka argumentasi ateis jadi lemah - tidak pasti - ada keboleh-jadian.

Jadi, kita bantu ateis untuk menyempurnakan argumentasinya agar lebih kuat, secara menyeluruh, bahwa:

  • "tiada Tuhan dimanapun", atau lebih sempurnanya
  • "tiada Tuhan di keadaan yang bagaimanapun"

Sampai disini sebenarnya burden of proof telah dapat dituntut ke pihah ateis. Tetapi kita coba dahulu di konversi ke kalimat positif (bukan penyangkalan). "tiada Tuhan dimanapun" atau lebih sempurnanya "tiada Tuhan di keadaan yang bagaimanapun" menjadi

  • "hanya ditemukan selain dari Tuhan di keadaan bagaimanapun"
  • "semua selain dari Tuhan di keadaan bagaimanapun"

Contoh lain:

  • ada "tumbuhan & manusia" , maka kalimat penyangkalannya yang mungkin adalah:

[ ... Jika ditolak keberadaan manusia "tiada manusia dimanapun", maka penegasan positifnya "hanya ada tumbuhan". Demikian pula, jika "tiada Tuhan (entah Tuhan versi siapa) dimanapun", maka penegasan positifnya adalah "ada selain dari Tuhan (entah Tuhan versi siapa) dimanapun" ...]

Jadi, tidak ada lagi alasan bagi ateis untuk mengelak (hanya jika bersepakat mendiskusikannya) dengan dalih "bagaimana mungkin saya (ateis) disuruh membuktikan sesuatu yang (diyakini) tidak ada", karena format beban (kewajiban) pembuktiannya (burden of proof) telah dapat di proses untuk pembuktian kebenarannya itu sendiri.

Bagaimana lalu pelaksanaan burden of proof bagi ateis? Sederhana ... buktikan bahwa dimanapun atau di keadaan bagaimanapun hanya ada selain dari Tuhan.

FALSIFIKASI - KARL POPPER

Dan kalaupun ateis masih bersikeras (setelah penyangkalannya dapat di konversi ke penegasan positif), bahwa "tiada Tuhan dimanapun" dipaksakan sebagai kalimat negatif oleh ateis. dan berdalih dianggap tidak sah untuk di telusuri? Tetapi secara penalaran dapat diterima untuk ditindak-lanjuti sebagaimana uji kebenaran yang telah dikenal yaitu falsifikasi.

Penerapan falsifikasi pada penyangkalan ateis "tiada Tuhan", dapat diterapkan dengan memastikan bahwa "benarkah tiada Tuhan dimanapun?" Boleh jadi ada Tuhan tersembunyi di suatu tempat.

Falsifikasinya, jika sempat ada Tuhan di suatu tempat, maka gugurlah penyangkalan ateis "tiada Tuhan dimanapun", karena "terbukti ada Tuhan".

Yang jadi masalah, penyangkalan ateis sulit difalsifikasi - sulit dibuktikan - sulit dipastikan. Karena penyangkalan ateis sulit dipastikan, ya berarti penyangkalan ateis menjadi tidak pasti, sebuah penyangkalan yang gagal. Bagaimana bisa gagal?

Karena pertanyaannya, bagaimana ateis mem-falsifikasi (menguji secara utuh)? Sedangkan jagad sedemikian luas. Apakah ateis dapat menjelajahi seluruh bagian semesta? Ke mars? Ke bulan? Ke lubang hitam? Ke sudut manapun di semesta raya ini, untuk memastikan ketiadaan Tuhan dimanapun? Tidak dapat!

Berarti penyangkalan ateis tidak sempurna dan juga bukan berarti tidak dapat dibuktikan seperti dalih semula.

ARGUMENTASI LEMAH - BERIMBANG DI KEDUA SISI

Berbeda dengan yang diawal dalihnya bahwa, penyangkalan ateis tidak dapat dibuktikan karena yang dibuktikan tidak ada.

Tetapi sekarang, bukannya tidak dapat dibuktikan, justru dapat dibuktikan secara penalaran dengan menjelajahi semesta dari suatu wilayah ke wilayah lain, hanya saja tidak tuntas - tak sempurna (keterbatasan untuk menjelajahi seluruh semesta).

Dulu, sama sekali tak dapat dibuktikan (mustahil), tetapi sekarang bukannya sama sekali tak dapat dibuktikan tetapi justru suatu bentuk pembuktian yang tidak tuntas - pembuktian yang tidak sempurna.

Singkatnya, mereka membuat penyangkalan yang lemah! Penyangkalan yang tak pasti!
------

Tetapi bahkan ateis tidak mau berhenti sampai disitu. Mereka gigih dengan berdalih bahwa, bahkan ketika teis menegaskan "Tuhan Itu Ada", sebenarnya ini juga argumentasi yang lemah - tidak pasti. Karena (ateis ganti berdalih bahwa) si teis juga tidak dapat membuktikan adanya Tuhan dimanapun, boleh jadi tidak ditemukan Tuhan di suatu tempat. Dan mereka juga berdalih balik menggunakan falsifikasi "jika sempat terbukti tiada Tuhan di suatu tempat, maka berarti keimanan teis bahwa "ada Tuhan" juga lemah! Karena bahkan teis juga tidak dapat menjelajahi semesta untuk memastikan bahwa ada Tuhan dimanapun. Jadi boleh teis berkata "ada Tuhan", tetapi ateis dapat berkata "Tuhan yang dimana?". Anda (teis) boleh berkata "ada Tuhan disampingku". tetapi saya (ateis) yakin di mars atau entah di bagian mana dari semesta yang luas ini, "terbukti tiada Tuhan". Jadi anda (teis) tidak dapat memastikan secara sempurna bahwa pasti selalu ada Tuhan, karena boleh jadi sempat tiada Tuhan.

Skor 1:1 😌

Keduanya. ateis & teis memiliki argumentasi yang lemah, yang tak dapat difalsifikasi.

KEMUNGKINAN

Setelah mengetahui bahwa kedua belah pihak dianggap sama memiliki argumentasi yang lemah, maka tidak ada alasan bagi ateis untuk bersikap seolah-olah secara mutlak tiada Tuhan, karena memang penyangkalan mereka sendiri ternyata tidak mutlak.

Bahasa sederhananya, ateis jangan sedemikian ngotot menolak ketiadaan Tuhan sedemikian keras, sampai mereka sendiri tidak mau menerima solusi yang masuk akal.

Mereka yang ateis secara argumentasi tidak dapat menyangkal keberadaan Tuhan secara pasti, berarti pula mereka juga harus (tidak boleh angkuh dan bersedia) menerima argumentasi yang bersifat kemungkinan.

Bahwa antara ateis & teis memiliki kemungkinan keberadaan Tuhan sama, 50%-50%.

Artinya, bahwa "argumentasi kemungkinan" harus diterima oleh ateis. Yaitu argumentasi yang pernah disinggung oleh Blaise Pascal. Pascal's Wager

PASCAL’S WAGER

Jika Tuhan tidak ada maka teis tidak rugi. demikian pula ateis tidak terkena hukuman Tuhan.

Tetapi, jika Tuhan ada maka teis akan menikmati kebahagiaan abadi, sedangkan ateis akan menderita kutukan abadi.

Terlepas dari apakah Tuhan itu ada, maka, para teis memiliki kemenangan lebih aman daripada ateis.

Jadi, argumentasi ini adalah solusi masuk akal yang harus diterima oleh mereka yang ateis!

Jikapun ateis menolak hal ini, sungguh aneh, karena bahkan ateis merasa yang paling masuk akal dan paling keras standard pembuktiannya.

Mereka juga sedemikian kokoh bersikap sepenuh hati menolak segala bentuk kemungkinan adanya Tuhan. DIPASTIKAN TIADA TUHAN! Padahal argumentasi mereka juga ternyata tidak pasti!

PUKULAN BALIK DARI TEIS

Jangan-jangan mereka yang mengakui ateis, bukanlah seorang yang benar-benar berputus-asa mencari Tuhan. Bukan pejuang kebenaran yang sejati! Hanya sekedar pejuang setengah hati, berjuang setengah-setengah!

Mengapa?

Karena bahkan mereka teis ada yang menyadari bahwa, ada cara untuk menjelajahi seluruh bagian alam semesta, sehingga dapat difalsifikasi tentang kepastian adanya Tuhan. Melalui cara bagaimana?

MEDITASI

Dengan meditasi ...

Mereka yang telah berhasil mencapai pencerahan melalui meditasi, telah mampu menyadari seluruh bagian semesta, dan menyadari bahwa ada kekuatan Tunggal yang menciptakan dan mengatur semua realita yang ada.

Ini pukulan balik untuk ateis agar mencoba jalan spiritual untuk menjelajahi seluruh semesta, agar mereka yang ateis membuktikan sendiri kebenaran keberadaan Tuhan yang Maha Meliputi.

Jika mereka (ateis) menerima hal ini (mau bermeditasi), maka mereka (ateis) adalah pejuang sejati, intelektual sejati.

Namun jika mereka menolak, berarti mereka berjuang setengah -setengah - setengah hati! Dan berarti jangan mereka berbangga lagi dengan status ateis mereka yang merasa cerdas berani menentang hal KeTuhanan yang sedemikian di sakralkan oleh BANYAK (tidak hanya sedikit) kaum teis. Mereka yang seperti itu hanya semakin menegaskan kelemahan posisi intelektual mereka. Penalaran mereka tidak valid!

Jadilah ateis yang murni! Pejuang ateis sesungguhnya. Yang rela berjuang secara penuh mencari kebenaran.

Dan jika mereka telah berubah menjadi teis, maka mereka boleh berbangga mengulang-ulang penegasan bahwa dulu mereka sempat ateis dan sekarang menjadi teis. Menandakan adanya lompatan luar biasa dalam perkembangan penalaran mereka.

🙏🙂

--

--

Seremonia
Seremonia

No responses yet