Atheus Argumentum Positivum — Burden of Proof

Seremonia
12 min readAug 8, 2020

Ateis memustahilkan pernyataan positif tentang ketiadaan Tuhan — Atheists found it impossible making positive statements about the absence of God (only rebuttal)

Burden of proof dapat merupakan suatu pernyataan positif (klaim) atau suatu pembuktian yang membantah — Burden of proof can be a positive statement (claim) or a rebuttal.

Tuhan Itu Ada (klaim - positif)
Tuhan tidak Ada (bantahan) — God Is There (claim - positive) |God does not exist (rebuttal).

Yang jadi masalah adalah bahwa mereka yang ateis tidak merasa perlu membuktikan keberadaan Tuhan dalam arti, hanya sekedar membantah saja — The problem is that those who are atheists do not feel the need to prove the existence of God in a sense, they are merely disputing it.

Bagaimana jika ateis juga harus menanggung beban membuktikan ketiadaan Tuhan, lalu pihak teis membantah? Tetapi membuktikan ketiadaan Tuhan bukan pernyataan positif, melainkan negatif, pihak ateis merasa mustahil membuat pernyataan positif tentang ketiadaan Tuhan. Sehingga mereka hanya memposisikan sebagai yang membantah — What if atheists also have to bear the burden of proving the absence of God, then the theists making a rebuttal? But proving the absence of God is not a positive statement, but a negative one, atheists found it impossible making a positive statement about the absence of God. So that they are only positioned as arguing.

Di sisi lain pihak teis merasa bahwa ateis perlu menegaskan pernyataan positif tentang ketiadaan Tuhan — On the other side, theists feel that atheists need to make a positive statement about the absence of God.

Ini dapat diatasi dengan cara menentukan definisi Tuhan yang diterima kedua belah pihak. Tetapi selalu saja pada akhirnya berseberangan, dan meletakkan keduanya di sisi yang berbeda: yang memberi klaim & yang membantah. Keduanya tidak dapat melakukan klaim, melainkan hanya salah-satu dari mereka — This can be overcome by determining a definition of God that is accepted by both sides. But it always ends up opposing, and putting both on different sides: making a claim & rebuttal. Neither of them could make a claim, but only one of them.

PENYANGKALAN — DENIAL

Contoh:

  • Mereka berjalan — they walk
  • Mereka tidak berjalan = {mereka mungkin: makan/minum/duduk/berbaring/lainnya} | Disini kita cukup menegaskan pernyataan positif yang tidak ada hubungannya dengan “berjalan”, maka pernyataan “mereka berjalan” telah menjadi invalid (tidak benar) — They don’t walk = {they may: eat / drink / sit / lie down / other} | Here we simply emphasize positive statements that have nothing to do with "walking", then the statement "they are running" has become invalid (not true)

PENGALIHAN — DIVERSION

Lalu bagaimana dengan pernyataan bahwa “ada buku” yang penyangkalannya adalah “tidak ada buku”? “ — Then what about the statement that "there are books", with a rebuttal "there are no books"?

Ini bisa diperjelas dengan melihat konsekuensi logisnya bahwa — This can be clarified by looking at the logical consequence that:

  • hanya ada selain dari buku | pensil atau kertas atau lainnya yang bukan buku — only exists other than book | pencil or paper or anything that isn’t a book
  • hanya ada buku yang berbeda | kalau penyangkalannya terhadap buku yang (salah-satu cirinya) berwarna merah, maka penyangkalan tersebut harus melibatkan buku dengan ciri yang berbeda dari buku yang disangkalnya — there are only different books | making denial for a book (one of its characteristics) is red, then the denial must involve a book with a different character.

Demikian pula ketika pernyataan kaum theist bahwa “Tuhan itu Ada” atau “Tuhan ada”, maka penyangkalannya pada keberadaan selain dari Tuhan, atau sesuatu yang tak bercirikan Tuhan — Likewise, when theists claim that "God exists", then it denies any existence other than God, or something that has no characteristic as God.

“Tuhan ada” = “Sesuatu yang bercirikan Tuhan, ada”. Penyangkalannya, “hanya sesuatu yang tak bercirikan Tuhan, ada”, contoh: baju, sepeda, bumi, galaxy dan lainnya — "God exists" = "Something that has characteristic as God, exists". The denial, "only something that has no characteristic as God, exists", for example: clothes, bicycle, earth, galaxy and others

Jadi “Tuhan ada” dapat disangkal dengan “tiada Tuhan melainkan hanya ada: saya atau bumi atau apapun juga — yang tak bercirikan Tuhan” — So "God exists" can be denied by "there is no God but there are only: me or the earth or whatever - which has no characteristic as God

Disini terlihat sekali bahwa bahkan ketika bentuk penyangkalannya merupakan pernyataan positif, tetap saja terasa tidak mengenai sasaran, terasa janggal bagi theist. Mengapa? — It is very clear here that even when the form of denial is a positive statement, it still feels “off the mark”, it feels odd to theist. Why?

Karena menurut theist bukan seperti itu bentuk penyangkalannya. Melainkan pernyataan bahwa “ketiadaan Tuhan terbukti benar” — Because according to theist that’s not a form of denial. Rather the statement that "the absence of God is proven true”

Jadi, berkata “buku ada” tidak berarti penyangkalannya adalah “hanya ada selain dari buku (secara keseluruhan atau sebatas buku yang berbeda), melainkan bentuk penyangkalan yang menyatakan secara positif bahwa “ketiadaan buku” adalah benar — Thus, saying "the book exists" and a rebuttal has nothing to do with "there are only things other than the book (as a whole or as a different book), but rather a form of denial which positively states that "the book does not exist” is true.

Ini seperti sekedar menyangkal dengan mengalihkan fokus ke hal lain — This is like simply denying by shifting the focus to something else.

SALAH ARAH FOKUS — WRONG DIRECTION

Demikian pula ketika theist berkata “Tuhan ada” maka pernyataan positif yang menyangkal “Tuhan ada” adalah hal yang mustahil. Mengapa? — Likewise, when theist says "God exists" then a positive statement that denies "God exists" is impossible. Why?

Karena atheist memulai arah penyangkalan dari sisi “keberadaan” — Because atheists initiate the direction of denial from single point of view, "exist"

Bahwa keberadaannya itu sendiri tidak ada, lalu bagaimana mengadakan sesuatu yang tidak ada — That existence itself does not exist, then how to see something that previously didn’t exist

Padahal arah penyangkalannya bukan dari sisi “keberadaan”, tetapi dari sisi “ciri keberadaannya”. Ciri keberadaannyalah yang disangkal. Bukan dari keberadaannya yang sudah diyakini tiada — Whereas the direction of rebuttal is not pointing to "existence" only, but including the "characteristics of existence". Rebuttal must be directed by making denial of its characteristic (of the existence), and has nothing to do with pointing only to existence that was believed to be non-existent.

Disini atheist mengalihkan fokus dengan menunjuk ke kekosongan itu sendiri. Walau terkesan membawa “Tuhan” tetapi pada akhirnya titik fokus diarahkan pada kekosongan itu sendiri dengan mengabaikan “ciri KeTuhanan” — Here the atheist is shifting the focus by pointing to emptiness itself. Even though it seems to carry "God" but in the end the focus point is directed at the emptiness itself by ignoring the "divine characteristics".

Jadi seolah atheist berkata “Tuhan itu tiada” = “ketiadaan yang tak mungkin menampakkan salah-satunya Tuhan atau apapun juga — So it is as if atheists say "God is not exist" = "God or anything came from nothingness”

Contoh sederhana — simple example:

“ada buku di ruangan itu”, lalu penyangkalannya “ruangan itu kosong lalu bagaimana mungkin ada buku”, bagaimana membuktikan bahwa “dari kekosongan dapat menampakkan buku”, ini mustahil, berbeda jika anda menyatakan “ada buku di ruang kosong” ini masih bisa diperdebatkan kebenarannya. Tetapi menyatakan bahwa “muncul buku di ruang kosong” adalah sulit dibuktikan. Demikianlah alasan dari atheist yang menegaskan sulitnya membuat klaim tentang ketiadaan Tuhan, karena menurut mereka “sesuatu yang akan dibuktikan telah tiada terlebih dahulu — tidak pernah sempat ada” — "There are books in the room", then the denial "the room is empty then how can there be books", how to prove that "from the emptiness can reveal books", this is impossible, different if you say "there is a book in an empty room" this is debatable. But claiming that "books appear in empty space" is difficult to prove. That is the reason for atheists who affirm the difficulty of making claims about the absence of God, because according to them "thing doesn’t exist, then never had time to exist"

Ini seperti orang yang berkata “makanan ini enak” lalu dibantah dengan “belum mencoba bagaimana mungkin bisa berkata enak”. Titik fokusnya hanya pada “yang dibantah” (“enak”), padahal titik fokusnya ada pada “makanan enak”, satu hal terlupakan yaitu “makanannya” — It’s like a person who says "this food is delicious" and then argued with "haven’t tried how it is possible to say delicious". The focus point is only on one direction — "delicious", even though the focus point is on "good food", one thing is forgotten, namely "the food".

Seharusnya, bantahan untuk “makanan ini enak” adalah “adakah ciri (kemungkinan) adanya enak pada makanan?” — should be like this, the argument for "this food is delicious" is "is there a characteristic (possibility) of deliciousness in food?"

UNIVERSALITAS — UNIVERSALITY

Ini sebenarnya yang lebih sesuai, untuk merumuskan bentuk penyangkalan yang diharapkan oleh theist terhadap atheist — This is actually properly formulated, by defining the form of denial that theists expect to atheists.

Eksistensi sesuatu dapat disangkal dengan pernyataan penyangkalan positif tentang adanya kemungkinan suatu eksistensi — The existence of something can be denied by stating a positive denial about the possibility of an existence.

“Sesuatu itu ada” dapat dipahami sebagai “kepastian atau kemungkinan adanya sesuatu” — Something is exist "can be understood as" the certainty or the possibility of something ".

“kepastian atau kemungkinan adanya sesuatu” dapat dipahami sebagai “disadarinya sesuatu pada suatu kemungkinan/kepastian”. Secara sederhana ini dipahami sebagai “di suatu tempat/keadaan tertentu dimungkinkan/dipastikan ditemukannya (disadarinya) sesuatu” — "Certainty or the possibility of something" can be understood as "being aware of something within range of possibility/certainty". In simple terms this is understood as "in a certain place/situation it is possible/confirmed that something can be found.

Secara tegas, pernyataan “sesuatu itu ada” harus diartikan secara partikular/universal sebagai “sesuatu itu ada di beberapa/setiap kemungkinan” — Strictly speaking, the statement "something is there" must be interpreted specifically/universally as "something that exists in some/every possibility"

Mengatakan “ada buku di meja”, menegaskan “adanya sesuatu yang hanya mungkin ditemukan di meja” — Saying "there is a book on the table", emphasizes "there is something that can be found on the table".

Demikian pula menegaskan “Tuhan ada”, ini harus diartikan bahwa “ada Tuhan dalam berbagai kemungkinan” — Likewise affirming "God exists", it must be interpreted that "there is God in any possibility".

Jika “Tuhan ada” hanya sejauh kemungkinan tertentu, maka ada saat dimana “Tuhan tiada” pada keadaan tertentu. Tiada disini bukan diartikan sebagai diluar jangkauan persepsi kita, tetapi tiada secara mutlak — If "God exists" only to a certain extent, then there are times when "God does not exist" under certain circumstances. Not exist” here does not mean beyond the reach of our perceptions, but ABSOLUTELY not exist.

Kalaupun dianggap sempat terjadi “Tuhan tiada” maka keberadaan Tuhan tidak mutlak ada, melainkan bergantung pada lainnya (Tuhan adalah akibat, bukan sebab) — Considering that there is moment where "God does not exist", this means the existence of God does not absolutely exist, but depends on others (God is the cause).

Sedangkan “Tuhan ada” adalah secara mutlak, yang berarti “keberadaannya tidak bergantung kepada kemungkinan melainkan kepastian. Ini berarti dalam keadaan kemungkinan seperti bagaimanapun, “Tuhan tetap ada, tidak pernah sempat tiada”. Inilah universalitas keberadaan Tuhan — Whereas "God exists" is absolute, which means "his existence does not depend on possibility but certainty. This means in any possible condition, "God is always exist no matter what". This is the universality of God’s existence.

SYARAT MINIMAL & PASTI — MINIMUM REQUIREMENT & CERTAINTY

Ketika ada perdebatan tentang keberadaan Tuhan, maka langkah menengahi hal ini (jalan tengahnya) adalah dengan melihat ciri yang pasti ada dari suatu pernyataan. Jadi ketika ada yang menyatakan “Tuhan ada”, maka hal yang dipastikan ada pada pernyataan “Tuhan ada” adalah keberadaan-Nya yang pasti secara universal dalam berbagai kemungkinan — When there is a debate about the existence of God, then we can mediate through the middle way by looking at the definite characteristics of a statement. So when someone says "God exists", then the most minimum requirement to be confirmed is that, God does exist absolutely universally no matter what.

ARGUMENTASI THEIST — THEIST ARGUMENT

Bagi theist, argumentasi yang pasti tentang keberadaan Tuhan haruslah memastikan keberadaan-Nya yang mutlak, pasti, tak pernah sempat tiada. Dan ini hanya dapat ditegaskan tentang ke-Maha Meliputi Tuhan yang menegaskan ketakbergantungan keberadaan-Nya — suatu kepastian tentang keberadaan-Nya — For theists, a definite argument for the existence of God must ensure that God’s existence is absolute, certain, no matter what. And this can only be affirmed about the all-pervading God affirming the independence of God’s existence - a certainty of God’s existence.

Atau kalau secara sederhana dapat dinyatakan “ada Tuhan dimanapun (dalam keadaan bagaimanapun juga)”. Jika dikatakan ada kemungkinan dimana Tuhan sempat tiada, maka Tuhan tidak mutlak ada — Or it can simply be stated "there is God everywhere (under any circumstances)". If there is a moment where God did not exist (then God doesn’t exist absolutely).

Ada Tuhan dimanapun! — God is everywhere!

ARGUMENTASI ATHEIST — ATHEIST ARGUMENT

Dari sisi argumentasi theist bahwa “ada Tuhan dimanapun”, maka pihak atheist harus membantah bahwa keberadaan Tuhan tidak mutlak — From theist’s point of view, for the argument "there is God everywhere", the atheist must argue that the existence of God is not absolute.

Bantahan dari atheist haruslah argumentasi yang menegaskan bahwa “tiada Tuhan dimanapun” — The rebuttal of the atheists must be arguments that assert that "there is no God anywhere"

Jika di formulasikan secara positif — if formulated positively:

  • theist => “keberadaan Tuhan mutlak” = “ada Tuhan dimanapun” = “universalitas keberadaan Tuhan” — theist => "the absolute existence of God" = "there is God everywhere" = "universality of God’s existence"
  • atheist1 => “keberadaan Tuhan relatif” = “ada Tuhan di keadaan tertentu” = “partikular keberadaan Tuhan” — atheist1 => "relatively existence of God" = "there is God in a certain state" = "particular God’s existence"
  • atheist2 => “keberadaan Tuhan tidak mutlak” = “tiada Tuhan di keadaan bagaimanapun” = “dimanapun, hanya ada selain dari Tuhan” = “universal ketiadaan Tuhan” — atheist2 => "the existence of God is not absolute" = "there is no God in any circumstances" = "anywhere, there is only any other existance other than God" = "universal absence of God"

Argumentasi atheist1 bahwa keberadaan Tuhan bergantung kepada sesuatu (tidak meliputi sesuatu), maka ini adalah argumentasi yang telah tuntas terbantahkan oleh theist, dengan cukup menegaskan adanya banyak sesuatu yang bergantung pada lainnya, maka ditemukan Tuhan dimanapun. Walaupun saya tidak setuju dengan versi Tuhan seperti ini, tetapi paling tidak dapat menunjukkan pada atheist bahwa mereka tidak dapat menegaskan ketiadaan Tuhan secara tuntas (bagai berbalik arah: “tiada yang pasti” yang berarti menegaskan ada kepastian tentang “ketiadaan kepastian itu sendiri”, “tiada Tuhan” tetapi dirinya sendiri berkata “itu ada tuhan disana”) — The atheist argument1 that the existence of God depends on something, then this is an argument that has been completely refuted by theists, by simply affirming that there are many things that depend on the other things, so God can be found everywhere. Although i disagree with this version of God, but at least i can show atheists that they can not completely confirm the absence of God (it’s the same as reversing direction: "there is no certainty" which means affirming there is certainty about "uncertainty itself", "there is no god” but atheist said “ here is a god there")

Argumentasi atheist2 bahwa tiada Tuhan dimanapun, maka inipun adalah argumentasi yang telah tuntas terbantahkan oleh theist, dengan cukup menegaskan bahwa pihak atheist belum tuntas menjelajahi seluruh alam semesta untuk memastikan ketiadaan Tuhan dimanapun — The atheist argument2 that there is no God anywhere, so this also an argument that has been completely refuted by theists, simply by affirming that the atheists have not completely explored the entire universe to ascertain the absence of God anywhere.

Bahwa theist dianggap gagal oleh atheist karena tidak mampu menjelajahi seluruh alam semesta untuk membuktikan keberadaan Tuhan secara mutlak (dimanapun), tetapi sama saja di pihak atheist terkena masalah yang sama. Maksudnya? — That theist is considered a failure by the atheist because theist is unable to explore the entire universe to prove the absolute existence of God (anywhere), but atheists are equally under the same problem. Meaning?

Secara mendasar dapat ditegaskan bahwa argumentasi atheist gagal membuktikan ketidakmutlakan keberadaan Tuhan, melainkan ada peluang adanya Tuhan — Basically it can be emphasized that the atheist argument fails to prove the absoluteness of God’s existence, that means, there is a chance that God exists.

Walaupun atheist berargumentasi bahwa keberadaan Tuhan sekedar dimungkinkan, tetapi atheist juga tidak dapat sepenuhnya menolak “adanya Tuhan” — Although atheists argue that there is possibly the existence of God, it means atheist cannot completely deny "the existence of God".

Ini sama saja atheist gagal menegaskan kepastian argumentasinya sendiri. Secara sangat mendasar dapat dikatakan, argumentasi/penolakan atheist tidak bersifat pasti — This is tantamount to the atheist failing to assert the certainty of their own argument. In a very basic way, argument/rejection from atheist is uncertain.

SINGKAT PADAT — IN A SHORT

Theist: “ada Tuhan” — ”God exist”

Atheist: “bisa jadi benar dimungkinkan adanya Tuhan” — ”Possibly there is God”

Lalu, argumentasi penutup bagi atheist: “jika tiada Tuhan amanlah keadaan setelah mati, tetapi jika Tuhan ada, dan saya lalai, maka celakalah saya”. Ini suatu argumentasi yang dianggap tidak tegas oleh atheist, sedangkan mereka sendiri tidak dapat membantah dengan tegas tentang ketiadaan Tuhan (jika atheist tidak dapat tegas secara pasti membantah keberadaan Tuhan, lalu mengapa ĵuga atheist tidak mau menerima solusi yang bersifat kemungkinan — disinilah keadaan absurd atheist jika dilihat dari sisi permasalahan seperti ini) — Then, the closing argument for atheists: "if there is no God then nothing to worry after death — no judgement day, but if God exists, and i am negligent, then i am in trouble — judgement day". This is an argument that atheists consider to be ambiguous, whereas they themselves cannot argue certainty about the absence of God (if atheists cannot firmly deny the existence of God, then why do atheists refuse to accept possible solutions - here is the absurd state of atheists — by seeing in terms of problems like this).

Dan beginilah seharusnya meletakkan pokok permasalahan antara theist & atheist — And this is how we should place this case in between theist & atheist

Theist & Atheist — Burden of Proof

ATHEISM 4.0

--

--