Celah Demi Pembelaan atau Pembenaran
Sebenarnya berpikir kritis itu baik, sama seperti berfilsafat itu baik. Namun mengapa sampai Imam Ghazali melarang berfilsafat?
Karena berfilsafat menjadi sekedar berpikir kritis. Berfilsafat menjadi sekedar alat untuk mengkritisi mencari celah.
Bukan masalah kita menemukan celah untuk melihat dimensi lebih dalam lagi. Tetapi semua ini menjadi buruk ketika ujung-ujungnya adalah mencari celah untuk pembelaan diri. Ketika ini menjadi buruk karena ujung-ujungnya adalah mencari celah untuk pembenaran. Dimana salahnya?
Ketimpangan Yang Menyesatkan
Ketika pembelaan diri & di saat pembenaran dilakukan secara timpang, tanpa melihat sudut-sudut (dimensi) lain yang ada, maka jadilah suatu pembelaan diri atau pembenaran terhadap apapun secara tidak utuh YANG , BERPOTENSI MENYESATKAN.
Dimensi Perenungan
Dengan perenungan, maka sikap kritis benar-benar mencapai batas yang sebelumnya tak diketahui.
Dengan perenungan, maka berfilsafat benar-benar menggali potensi diri.
Jadi? Sebenaranya jika landasannya telah seimbang, apapun diatasnya tidak perlu dipermasalahkan.
Merenung itu seperti jika seseorang telah jelas kepergiannya untuk mengisi perutnya yang kosong, bukan masalah. Tahu duduk perkaranya secara jitu.
Merenung itu tidak sekedar mencari celah, namun memikirkan sebab-akibatnya, memikirkan dampaknya bagi sekarang & di masa depan. Juga termasuk melakukan empati.
Namun sekedar mengkritisi itu seperti jika kepergiannya untuk membeli sesuatu dengan peluang keberhasilan yang harus tinggi, maka ujung-ujungnya berhasil membeli demi apapun yang tidak jelas prioritasnya.
Konsep Dasar
Itu sebabnya karena konsep dasarnya (yang seharusnya sudah disadari, namun) justru dilupakan, maka pelaksanaannya menjadi salah arah - timpang.
Demikianlah kita harus melihat sikap kritis & berfilsafat sesuai keadaan saat ini yang cenderung timpang, walau di masa lalu, konsepnya tidak seperti yang selama ini terjadi.