PEMAHAMAN:
Zat yang meliputi segala sesuatu. Dia bukan di dalam dan bukan pula di luar diri mahluk termasuk manusia, tetapi Dia meliputi segala sesuatu.
ZAT mengandung SIFAT seperti madu dengan rasa manisnya. Keduanya tidak dapat dipisahkan. Rasa madu yang kita kenal dan ingat itu karena ada madunya. Juga ketika kita melihat madu, maka terbayang pula rasanya.
SIFAT menyertai NAMA seperti matahari dengan cahayanya. Jika madu dikenal karena rasanya yang khas madu, maka cahaya matahari bisa kita bedakan dari cahaya rembulan dan bintang karena cahaya yang dipancarkannya. Sama-sama tertutup oleh awan sehingga matahari atau rembulan tak terlihat, tetapi kita bisa membedakan dari semburat cahaya dari keduanya.
NAMA menandai PERBUATAN seperti cermin terhadap bayangan di dalamnya. Apa pun yang diperbuat oleh seseorang yang sedang bercermin, maka bayangan pun akan mengikutinya.
PERBUATAN menjadi wahana ZAT seperti samudera dengan ombaknya. Sudah tentu keadaan ombak itu mengikuti keberadaan samudera tersebut. Besar kecilnya ombak tergantung pada keberadaan dan sifat samudera.
Jikalau Zat, Sifat, Asma dan Perbuatan itu dikenakan pada seseorang yang bernama Fulan yang hidupnya kaya dan dermawan, maka yang disebut zat itu ialah hakikat orang itu. Sifatnya ialah hidup dan mampu mengaktualisasikan hidupnya sehingga menjadi orang kaya. Asmanya, atau sebutannya ialah dermawan alias suka berderma. Dan, perbuatannya ialah semua aksi dan tindakanyya untuk menjadi orang kaya yang dermawan. Perbuatannya itu menjadi wadah zatnya. Tindakan untuk menjadi dermawan itu adalah pengejewantahan, manifestasi, atau penjelmaan pribadi atau zat orang itu.
Ketahuilah, Zat-Nya dalam keadaan suwung (kosong) yakni suwung dari segala Sifat, Asma dan Perbuatan. Zat Yang Mahasuci. Zat yang demikianlah yang disebut “laysa kamistlihi syai’un” atau Dia tidaklah serupa dengan segala sesuatu.”
Semua yang tergelar di alam semesta ini hanyalah wujud dari Sifat, Asma dan Perbuatan-Nya.
Dalam Sifat 20 itu menandakan sifat kita pribadi sebagai manusia. Dan ini hanya sekedar untuk memudahkan pemahaman.
Seandainya tidak ada sifat yang dikenali manusia, maka kita tak pernah bisa menyebut-Nya. Jika tak ada asma yang gumelar di jagad raya ini, maka tak ada yang kenal dengan Diri-Nya. Kalau tidak ada buah perbuatan-Nya di alam semesta ini, maka Dia tak akan disapa oleh manusia.
Jadi suwung berarti kosong dari sifat, asma, dan perbuatan sebagaimana yang disifatkan pada semua mahluk di alam semesta ini. Dia tidak dapat dibayangkan seperti apa pun.
Bagaimana dengan Laa mawjuda illa Allah. Tiada yang maujud kecuali Allah.Semua yang maujud diliputi oleh Kuasa-Nya, sehingga semuanya merupakan manifestasi-Nya. Itu sebabnya kemanapun kita menghadapkan diri kita, pasti kita menghadap ke Wajah Allah.
Ibarat Cermin
Bila Zat dinamakan qadim atau azali, maka sifat, asma, dan perbuatan bisa disebut qadim maupun hawadist (baru). Ini tergantung dari sisi mana kita melihat. Ibaratnya orang yang bercermin akan melihat bayangan dirinya. Bayangan orang yang bercermin bersifat baru. Ya.., baru ada bila ada orang yang bercermin, maka bayangan pun secara hakikat bersifat qadim.Zat bersifat esa, sedangkan bayangan bersifat dualitas (memiliki sifat qadim dan baru). Disebut manunggal karena pada hakikatnya tiada dua eksistensi. Hanya ada satu maujud, satu eksistensi. Itulah Allah!
PENGINGAT:
Saya akan menggunakan perumpamaan untuk mempermudah pemahaman.
Iya, yang penting tetap jelas bahwa ketika hanya Tuhan Yang Wujud, tidak berarti karena kita juga merasa berwujud, lalu kita dapat berkata: "saya Tuhan". Tuhan ya Tuhan, dan ciptaan Tuhan ya selalu sebagai ciptaan Tuhan.
- Contoh: wujud air punya sifat sebagai es, air ada meliputi seluruh es. Hanya ada wujud air. Tidak berarti es adalah air. Es adalah sifat air, es bukan air, walaupun ada air di es. Tidak ada kesetaraan antara air & es.
Es bukan air dan air bukan es. Yang benar: es dari air, air meliputi es. Es sifat dari air , dan air meliputi es.
Kalaupun si es cemburu atau angkuh merasa punya wujud, maka wujud dari es bergantung dari wujud air.
Wujud ciptaan Tuhan bergantung kepada Wujud Tuhan. Tetapi ketika diperdalam maka menjadi jelas lagi bahwa wujud kita sebatas sifat dari Wujud Tuhan.
Disini memang terkesan rumit berputar-putar, tetapi sebenarnya agar batas-batasnya jelas, sehingga ketika dipaksakan suatu pendapat maka sejauh itu terkait tentang Tuhan, maka kesucian Tuhan tetap harus terjaga dengan tegas tanpa kompromi.
Sebagai contoh paham manunggaling kawulo lan gusti (menyatunya kita dengan Tuhan), tidak dapat diartikan kita menyatu menjadi Tuhan, tetapi seperti lenyapnya kita dalam Tuhan.
- Bahkan kalaupun ada yang menegaskan bahwa kita dapat bersatu dengan Tuhan, saya menolak, karena ketika dikatakan kita bersatu dengan Tuhan, maka sebenarnya kita masih sadar. Penyatuan kita dengan Tuhan menegaskan ketiadaan kita. Lenyap dalam Tuhan.
- Contoh: es meleleh mendekati keadaan air, tidak berarti es dapat berkata: "aku (es) menyatu dengan air", karena sifat es (suhu dingin) masih ada. Kalau es lenyap menyatu ke air, maka tidak ada es.
Dan tidak pernah es dapat dikatakan es menyatu dengan air, tetapi lebih baik katakan es kembali sepenuhnya ke air air. Kembali kepada Tuhan, bukan menyatu dengan Tuhan.
Mengapa tentang Ke-Tauhid-an harus sangat tegas batas-batasnya, atau kalau tidak jelas lebih baik menghindar? Agar ketika nanti semakin dekat kita dengan Tuhan, Tuhan memberkahi kebenaran yang bening.
Karena boleh jadi kelemahan kita dalam memahami Tuhan, kalau dipaksakan, maka bisa jadi Tuhan tetap memberkahi sejauh usaha kita, tetapi boleh jadi Tuhan tetap menutup kebenaran tentang Tuhan. Resikonya: ketika seharusnya Tuhan membuka tabir Keindahan-Nya kepada kita cukup banyak, namun karena pemahaman kita terhadap Tuhan masih lemah, maka Tuhan hanya menampakkan bukti Kekuasaan-Nya sejauh yang kita mampu.
Jadi, sekali lagi, mengapa tentang Ke-Tauhid-an harus sangat tegas batas-batasnya, atau kalau tidak jelas lebih baik menghindar? Agar ketika nanti semakin dekat kita dengan Tuhan, Tuhan memberkahi kebenaran yang bening.
Kalaupun harus menggunakan penegasan “menyatu dengan Tuhan”, maka ini harus diartikan seperti ketika kita berkata “hatiku menyatu dengan kekasihku” — “aku terikat dengan pekerjaanku” — ”aku sedemikian dekat dengan dia”. Pemahaman di luar ini adalah dilarang/salah/tersesat!
Demikian!