Kebijaksanaan

Seremonia
5 min readFeb 6, 2020

Secara mendasar perilaku yang bijaksana adalah berperilaku secara tepat.

Bagaimana sesuatu dapat sedemikian tepat? Karena memahami sesuatu secara apa adanya dan menyikapinya sebagaimana seharusnya.

Ada banyak aturan dalam penegakan kebijaksanaan yang dapat berbeda bagi setiap wilayah atau keadaan.

Saya hanya menyoroti dari sisi kemendasarannya.

Perilaku bijaksana sebaiknya mempertimbangkan:

  1. keadilan (terhadap)
  2. sosial (atas)
  3. hak & kewajiban

Ketika tidak melaksanakan tanggung jawab sosial untuk mendapatkan hak serta tidak menunaikan kewajiban secara adil di ranah kuantitas & kualitas maka telah terjadi ketidak - bijaksanaan yang merupakan penganiayaan terhadap sosial (diri sendiri atau ke pihak lain yang terlibat)

KEADILAN

Bagaimana keadilan ditegakkan? Dengan pelaksanaan sesuai prioritas.

SOSIAL

Bagaimana sosial ditegakkan? Dengan menjaga kelayakan fungsi yang terkait di antara setiap anggotanya,

Sehingga nampaklah (memudahkan) pelaksanaan sesuai prioritas.

HAK & KEWAJIBAN

Bagaimana hak & kewajiban ditegakkan? Dengan menjaga takaran kuantitas & kualitas.

Sehingga nampaklah (memudahkan) penyempurnaan fungsi sosial demi terjalinnya kerjasama.

Ada banyak skenario/detail penyempurnaan dalam hal ini yang secara mendasar dapat di garis bawahi:

  • Keputusan/perilaku/perdagangan/lainnya, dilakukan mengikuti prioritas: tidak menunda — bersegera dalam kebaikan, tidak salah penempatan fungsi kerja
  • Keputusan/perilaku/perdagangan/lainnya, harus menjaga kelayakan demi kerjasama: adanya komunikasi keterbukaan agar waspada — mawas diri, membentuk toleransi — saling menghargai, serta koreksi diri — pembelajaran, yang berakhir melalui perbaikan secara konsisten
  • Keputusan/perilaku/perdagangan/lainnya, dilakukan sesuai takaran kuantitas & kualitas: tidak curang mengurangi pasokan, tidak curang mengurangi (mempersulit) jangkauan kegunaan (agar kokoh dalam beradaptasi)

ILUSTRASI

  • Membuat rumah/mesin/sistem, harus dipersiapkan properti (kekuatan bahan | kelengkapan bahan) serta nilai guna (kapabilitas | pilihan) dalam takaran yang sesuai (tidak boleh dicurangi)
  • Membuat rumah/mesin/sistem, harus dipersiapkan perlindungan (pengawasan | konsistensi) agar fungsi kerja tetap terjaga untuk membentuk kerjasama yang utuh
  • Membuat rumah/mesin/sistem, harus dipersiapkan jadwal/prioritas pelaksanaan (terurut sesuai kepentingan — keharusan) agar hasilnya optimal sehingga kuat dan konsisten.

TUJUAN

Semua hal ini díperlukan sebagai dasar bagi terjaganya kebijaksanaan yang memberikan (kekuatan) keadilan dalam hal kendali — penguasaan terhadap diri sendiri serta keadaan demi tercapainya kemampuan adaptasi

MENGHAKIMI

Lawan dari kebijaksanaan adalah aniaya, dan kebijaksanaan (disandarkan) bergantung kepada Tuhan, sedangkan hal yang tidak disandarkan kepada Tuhan merupakan keangkuhan dan lebih dekat kepada aniaya karena (cepat/lambat) tiada dukungan kebijaksanaan dari Tuhan.

Hal lain lagi yaitu bahwa ada bentuk kesalahan kebijaksanaan yang sangat samar dan tidak pada “salah kebijakan”, melainkan ketika kita diberi hikmah tetapi dilakukan dengan keangkuhan (tidak mensyukuri). Dan ini memiliki dampak/resiko yang buruk.

Sehingga kita perlu juga memahami sedikit banyak tentang dampak keangkuhan yang terjadi melalui proses menghakimi.

Ketika seseorang membanggakan kesehatannya: “aku sehat” maka boleh jadi Tuhan menunjukkan betapa lemahnya dia.

Namun ketika seorang yang sehat mengatakan: “saya lemah maka bantulah aku Wahai Tuhan”, maka Tuhan menegaskan bahwa dia sebenarnya sehat.

Kemungkinan cara penghakiman secara angkuh dan balasannya secara kualitas:

  • Ketika kita menghakimi dengan keangkuhan, maka Tuhan menegaskan kebalikannya.

“aku/mereka/itu kuat” -> “kamu/mereka/itu sebenarnya lemah”

“aku/mereka/itu lemah” -> “kamu/mereka/itu sebenarnya memang lemah”

Jika penghakiman melibatkan kerendah-hatian/kehinaan/penghambaan …

aku/mereka/itu lemah, maka kuatkan aku/mereka/itu Wahai Tuhan” -> “kamu/mereka/itu sebenarnya kuat (karena segera Tuhan memberikan bantuan kekuatan”

  • Ketika kita menghakimi dengan keangkuhan di satu titik, maka Tuhan menegaskan kebalikannya di banyak titik.

“hanya ini yang buruk/baik” -> “lihatlah itu, semuanya buruk/baik, tidak hanya ini”

Jika penghakiman melibatkan kerendah-hatian/kehinaan/penghambaan …

hanya ini yang baik, sempurnakanlah Wahai Tuhan” -> “lihatlah itu, semuanya (banyak yang) baik, tidak hanya ini”

  • Ketika kita menghakimi dengan keangkuhan di banyak titik, maka Tuhan menegaskan kebalikannya di satu titik.

“semuanya buruk/baik, tidak ada yang baik/buruk” -> “lihatlah itu, ada yang buruk/baik di sebelah sini/sana”

Jika penghakiman melibatkan kerendah-hatian/kehinaan/penghambaan …

“semuanya buruk/baik, tidak ada yang baik/buruk, tolonglah Wahai Tuhan” -> “lihatlah itu, ada yang buruk/baik di sebelah sini/sana”

Satu lagi bahwa balasan terhadap penghakiman secara angkuh tidak memiliki nilai kuantitas yang setara:

“ada beberapa hal/persyaratan yang membuat ini buruk/baik” -> “lihatlah, cukup dengan ini saja sudah merupakan keburukan/kebaikan”

  • Jika penghakiman melibatkan kerendah-hatian/kehinaan/penghambaan …

“ada beberapa hal saja yang menentukan ini sebagai hal yang baik, sempurnakanlah Wahai Tuhan” -> “lihatlah, cukup dengan ini saja sudah merupakan kebaikan (memberikan manfaat)”

SPEKULASI

Kebijaksanaan selalu tidak pernah sempurna, melainkan hanya Tuhan Pemilik Kesempurnaan. Maksudnya?

Ada proses belajar dalam mengambil keputusan. Beberapa bagian boleh jadi dianggap diperoleh dari Tuhan melalui proses hidayah, tetapi tidak seluruhnya (kecuali kalau memang seluruhnya).

Contoh sederhana: sebagian diperoleh melalui petunjuk Tuhan (Kitab Suci), sedangkan sebagian lainnya dari itjihad (melalui proses berpikir/merenung).

Pada proses belajar menganalisa untuk memutuskan, disini memasuki ranah spekulasi melalui prediksi dengan probabilitas tertentu.

Ketika spekulasi benar-benar dilakukan secara murni tanpa pertimbangan, maka jadilah tebak-tebakan yang penuh resiko.

Pertimbangan dalam spekulasi diperlukan untuk meminimalkan resiko dan memperbesar manfaatnya. Ini dilakukan melalui prinsip kebijaksanaan yaitu keadilan. Mempertimbangkan secara adil dari segi sosial terhadap hak & kewajiban, agar diperoleh sedikit spekulasi dan lebih banyak probabilitas kebaikannya, sehingga cenderung bijaksana.

Hal lain yang perlu disoroti adalah masalah perjudian. Ada [spekulasi] disini yang melibatkan [dua belah pihak (di ranah sosial)] untuk memenuhi [hak & kewajiban]. Lalu sudahkah derajat spekulasinya dikurangi dengan menegakkan [keadilan]?

  • Ketika pihak yang terlibat saling diuntungkan (hak & kewajibannya), apakah berarti bukan judi?
  • Ketika hanya melibatkan diri sendiri sebagai yang dirugikan (hak & kewajibannya), apakah berarti bukan judi?
  • Ataukah perjudian hanya terjadi jika, melibatkan pihak lain serta ada pihak yang dirugikan (hak & kewajibannya)?

Sebenarnya dimanakah titik pusat dari karakteristik “perjudian”?

Kebijaksanaan bertumpu kepada ketepatan — jitu, sedangkan ketepatan bertumpu kepada pemahaman secara apa adanya dan penerapannya sebagaimana seharusnya. Penerapan sebagaimana seharusnya merupakan bentuk adaptasi. Jadi pada akhirnya seseorang yang bijaksana mampu beradaptasi.

Bagaimana adaptasi yang baik? Secara sangat mendasar adalah adanya keleluasaan dalam beradaptasi.

Tiadanya keleluasaan dalam beradaptasi sangat mempersempit/menghilangkan peluang/pilihan, dan ini jauh dari keadilan karena sulit memperkecil resiko dan berarti sama sekali tidak bijaksana.

Ketika kita berspekulasi untuk menarik keuntungan dengan menghubungkannya kepada ketentuan yang telak/absolut, maka sebenarnya kita telah berjudi.

Tidak ada kompromi/tidak ada toleransi.

Tidak ada negosiasi bagi keadilan sosial terhadap hak & kewajiban yang berarti ketidak-bijaksanaan. Jauh dari kemampuan adaptasi. Sulit memperkecil resiko.

Kebijaksanaan jauh dari ketidak-tepatan, dekat dengan keadilan dan hanya dapat ditegakkan dengan adaptasi yang baik.

Selemah-lemahnya kebijaksanaan yang terdapat spekulasi di dalamnya, tetapi tetap bukan merupakan spekulasi yang lemah.

Jadi, sebenarnya dimanakah titik pusat dari karakteristik “perjudian”? Tidak adanya (lemahnya — gagalnya peluang untuk) adaptasi.

  • Ketika hanya melibatkan diri sendiri sebagai yang dirugikan (hak & kewajibannya), apakah berarti bukan judi? Berjudi selama kita tidak mampu beradaptasi untuk mengurangi resiko yang ada.
  • Ketika pihak yang terlibat saling diuntungkan (hak & kewajibannya), apakah berarti bukan judi? Berjudi selama proses pengambilan keputusan tidak memberikan cukup adaptasi/pilihan untuk memperkecil resiko. Walaupun sempat diuntungkan tetapi probalilitasnya rendah sehingga spekulasinya sangat lemah dan tidak bijaksana.

Itu sebabnya ketika peluang adaptasi sangat rendah, pilihan sangat rendah, probabilitas rendah, peluang mengurangi resiko rendah, maka ini harus diragukan kebaikannya, maka tinggalkan.

Pada kasus hamba-hamba Allah Yang Disucikan oleh-Nya (para Nabi), ketika mereka dijanjikan keberuntungan/kemenangan dengan didasarkan kepada mengikuti petunjuk/jalan tanpa pilihan (tanpa negosiasi, tanpa kompromi, tiada adaptasi, tanpa pertimbangan), tetapi tidak berarti menempatkan mereka pada kemungkinan resiko terburuk. Mengapa? Karena mereka mampu melihat kebenaran secara penuh tanpa adanya spekulasi. Itulah sebabnya langkah mereka selaras dengan kebijaksanaan, jauh dari spekulasi dan memberikan keadilan bagi umatnya.

Jadi apakah hidup kita adalah perjudian? Kehidupan kita selalu melibatkan sosial serta hak & kewajiban, juga pengambilan keputusan yang adil. Jika ini dilakukan dengan tanpa adanya kemampuan adaptasi untuk mengurangi resiko, tanpa bimbingan Kitab Suci, tanpa pemikiran, tanpa perenungan, maka kita telah berjudi dengan hidup kita.

Demikianlah kebijaksanaan harus ditegakkan dengan keadilan yang berlandaskan kejujuran, agar cenderung — lebih dekat — kita kepada kebenaran.

Maha Benar Tuhan. Tuhan dengan Keadilan-Nya Yang Maha Jujur sebagai tanda Kebijaksanaan-Nya yang Melimpahkan (Memberikan) pilihan kepada hamba-Nya.

--

--

Seremonia
Seremonia

No responses yet