Tuhan bukannya ada melainkan nyata melampaui adanya kita
Yang Nyata melampaui ada karena kenyataannya meliputi adanya yang bergantung pada kenyataan sebagai sebab adanya sesuatu yang tak nyata kecuali sebatas ada sebagai akibat dari Sebab pertama Yang Nyata
Adanya sesuatu bagi kita bisa dipandang sebagai "ada" dari sudut pandang indera yang berbeda secara kenyataan sebenarnya dari sudut pandang lebih dalam mendekati dimensi kuantum, yang masih sebatas "ada" dari sudut pandang Tuhan yang kenyataan-Nya meliputi semua keberadaan dimensi
Kenyataan sebab adanya sesuatu
Kenyataan Tuhan sebagai sebab "adanya" akibat sebagai ciptaan-Nya
Kenyataan melampaui adanya sesuatu, kenyataanNya sebagai sebab tak bergantung pada akibat, sehingga akibat tak setara dengan sebab, sehingga posisi sebab melampaui posisi akibat
ADA-TIADA
Yang membuat mereka kebingungan memahami antara "ada" & "tiada" & "Tuhan" adalah karena keterbatasan jangkauan makna keberadaan sejauh "ada-tiada"
Mereka membatasi dikotomi sebatas dua hal ini, kalau bukan "tak ada" berarti "ada". Kalau bukan "ada" berarti "tak ada". Ini seperti "kalau tidak hitam ya putih". Dibatasi hanya sebatas 2 makna.
Lalu ❓Mendadak mereka menyadari adanya Tuhan yang keadaan-Nya tak bisa dibandingkan dengan keberadaan kita.
Padahal posisi "ada" sudah diambil oleh kita sebagai "yang ada", maka hanya tersisa satu label yang bukan "ada" yaitu "tiada". Sehingga demi Tuhan, posisi kita digeser ke posisi "tiada", agar Tuhan bisa dilabeli sebagai "ada" (satu-satunya). Tetapi pergeseran penamaan ini justru membingungkan generasi berikutnya yang tak bisa mengalami pencerahan tentang masalah "ada-tiada" ini. Lalu berkata "kalau ada itu bagi Tuhan, dan kita itu tiada, tetapi mengapa kita sadar adanya kita".
Hal seperti inilah yang membuat polemik lagi di dunia filsafat, pro-kontra.
Itu karena mereka tak menyadari "ada apa dibalik ada".
Jika "keberadaan kita" dianggap "tiada" demi agar Tuhan bisa dilabeli "ada", maka ini mustahil karena tiadanya kita sama saja meniadakan ciptaan-Nya. Atau lebih aksiomatis lagi mengikuti konsep mereka sendiri tentang hanya ada wujud Tuhan, sedangkan mereka berkata bahwa kita sekedar sifat-Nya, lalu jika kita dianggap tiada sama sekali maka tiada pula sifat-Nya (kita sebagai perwujudan sifat-Nya adalah mustahil ada, padahal seharusnya "ada"). Di sinilah yang membingungkan generasi berikutnya.
Itu sebabnya agar pengagungan terhadap Tuhan tetap bisa dilakukan setinggi-tingginya tanpa disadari mencederai pemahaman tentang-Nya, maka pembatasan sejauh "ada-tiada" harus digali lebih dalam.
Dan "ada-tiada" sebenarnya merupakan
- 1⃣ "sandaran-bersandar" atau
- 2⃣ "tak_berawal-berawal" atau
- 3⃣ “Zat-Sifat” atau
- 4⃣ ”membatasi-dibatasi" atau
- 5⃣ "pencipta-ciptaan"
Format dari point 1⃣ > 5⃣ tidak meniadakan kita sebagai sifat-Nya.
Kalaupun mereka dengan konsep wahdatul wujudnya ingin mengagungkan Tuhan sebagai satu-satunya yang ada, maka itu masih tetap bisa dilakukan dalam konteks wahdatul wujud sebagai KeTunggalan yang tidak meniadakan point 1⃣ > 5⃣.
Hal ini menghindarkan kesalahpahaman "karena Tuhan itu ada dan kita tiada, padahal kesadaran kita mutlak menyadari keberadaan kita", ... lalu mereka mengira berarti kita tiada karena adanya kita sebagai Tuhan". Makin ngawur lagi jadinya.
Di sinilah perlunya memahami duduk perkaranya secara jelas batas-batasnya, agar jangan sampai niat awalnya mengagungkan Tuhan tetapi bisa disalahpahami dengan menuhankan diri sendiri.