Lingkaran WINA — Titik Temu Filsafat, METAFilsafat & Sains

Seremonia
11 min readOct 5, 2023

--

Moritz Schlick, salah seorang tokoh Lingkaran Wina

Lingkaran Wina (bahasa Inggris: Vienna Circle, bahasa Jerman: Wiener Kreis) adalah suatu gerakan dalam bidang filsafat yang bertujuan mencapai suatu filsafat yang ilmiah dan menghapus proposisi-proposisi yang tidak dapat dibuktikan menurut prinsip-prinsip ilmiah.[1][2] Karena itulah, mereka menolak pernyataan -pernyataan spekulatif dan hanya menerima pengetahuan yang berdasar pada pengamatan yang obyektif.[1]

Beberapa pemikir yang terkenal dari lingkaran Wina adalah Rudolf CarnapMoritz SchlickHans Hahn, dan Otto Neurath.[1][3] Lingkaran Wina juga dikenal melalui pendekatan yang mereka bangun, yakni positivisme logis.[1]

Awal Mula

Auguste Comte, tokoh utama positivisme, pendahulu Lingkaran Wina

Lingkaran Wina merupakan kelompok neo-positivisme (positivisme logis) yang melanjutkan proyek positivisme.[1] Positivisme adalah wacana yang mendominasi ilmu pengetahuan selama paruhan pertama abad ke-19.[1] Tokoh positivisme yang paling terkenal adalah Auguste Comte.[1][4]

Awalnya mereka merupakan sekelompok filsuf dan ahli yang berkumpul secara periodik di Wina sejak tahun 1922 hingga 1938.[5] Sebenarnya sebelum tahun 1922 telah ada ahli-ahli yang memiliki kesamaan minat dan menjadi cikal bakal kelompok ini.[2] Beberapa tokoh awal adalah Ernst MachPhillip FrankOtto Neurath, dan Hans Hahn.[2] Pada tahun 1922, Rudolf Carnap tiba dan bergabung ke Universitas Wina, di mana merupakan pusat kegiatan akademis para anggota lingkaran Wina.[2] Kemudian bergabunglah juga filsuf dan ahli lain, seperti Herbert FeiglKurt GoedelR. von Mises, dan E. Schroedinger.[2][5]

Pada tahun 1929, kelompok ini menerbitkan tulisan yang berisi pandangan-pandangan mereka, yakni Wissenschaftliche Weltanshauung, Der Wiener Kreis.[2][5] Tulisan tersebut disusun oleh Carnap, Hahn, dan Neurath.[5] Selain itu, dari tahun 1930-1939, mereka juga menerbitkan jurnal Erkenntnis yang berisi ide-ide dari lingkaran Wina.[2]

Perkembangan Selanjutnya

Kelompok Wina kemudian berpencar setelah kematian salah satu anggota mereka, Moritz Schlick, dan juga terjadinya Perang Dunia ke-2.[2][5] Banyak anggota kelompok ini yang kemudian bermigrasi ke Amerika Serikat, termasuk Rudolf Carnap.[1][2] Di Amerika Serikat, mereka berhasil menggeser dominasi aliran pragmatisme.[1] Filsafat positivisme logis yang mereka kembangkan berhasil menarik perhatian publik serta mampu memunculkan kultur filsafat yang baru.[1] Kultur yang baru itu adalah ketika pengetahuan fisik dan formal, khususnya logika matematika, menjadi amat dominan.[1] Bidang-bidang di luar matematika seperti seniagama, dan moral, dianggap berada di luar jangkauan ilmu pengetahuan karena tidak dapat dibuktikan dengan metode yang rasional.[1] Hegemoni lingkaran Wina mulai surut pada tahun 1960-an.[1]

Melawan Metafisika

Para pemikir yang termasuk ke dalam gerakan ini bermaksud meniadakan metafisika dari ranah filsafat.[1] Hal itu dikarenakan metodologi yang dikembangkan oleh gerakan ini.[1] Mereka mengembangkan suatu metode ilmu pengetahuan yang dapat digunakan ke dalam semua bidang ilmu pengetahuan, termasuk filsafat yang banyak berbicara soal metafisika.[1] Metafisika dianggap tidak dapat diverifikasi oleh metode ilmu pengetahuan yang mereka kembangkan sehingga tidak dapat dibuktikan kebenarannya.[1] Para pemikir lingkaran Wina menganggap bahwa bahasa dan pengetahuan ilmiah

Permasalahan Di Lingkaran Wina - Studi Banding METAFilsafat

Sederhana, rasionalitas. Dimana mereka sadar filsafat perlu pembenahan menaikkan peringkat ke level sains.

Di sinilah yakinnya ilrmuwan melihat keadaannya sendiri yg bagi saya salah menilai.

Permasalahan "lingkaran Wina" ini juga sebenarnya terjadi pada kasus munculnya METAFilsafat.

Dimana kasus lingkaran Wina & kasus METAFilsafat, muncul sebagai akibat dari melihat perkembangan filsafat yg hanya sebatas "banyak bertanya, banyak polemik"

Banyak diskusi filsafat, sedemikian sibuk ramai, namun hanya diskusi yg penuh dengan pertanyaan & pertanyaan, yg pada akhirnya menumpuk polemik. Dampaknya❓

Di satu sisi pertanyaan yg membingungkan terjawab & memberikan ketenangan, namun baru sejenak merasa tenang, sudah ditambahkan lagi setumpuk pertanyaan yg merobek ketenangan semula. Alhasil, bukannya filsafat memberi ketenangan, justru menjadi sumber waswas karena bersemangat bertanya, namun tak mampu menjawab. MENUMPUK KEBINGUNGAN

Hutan Ketidakpastian - Keingintahuan

Begitulah sampai saat ini yg terjadi di komunitas filsafat adalah banyak pertanyaan. Dan bahkan ini juga tidak hanya dominasi komunitas filsafat, melainkan sosial media ada yg khusus memfasilitasi tanya-jawab.

Yang terjadi adalah bahwa ketenangan orang yg sebelumnya cukup kuat, menjadi tergoda oleh keingintahuan yg disemangati oleh media sosial. JADILAH DI ERA SEKARANG, ADA TUMPUKAN KEBINGUNGAN & ADA SEMANGAT MEMOMPA KEINGINTAHUAN YG KUAT DIMANAPUN

Itu sebabnya sangat menentukan di sisi mana seseorang bergabung di media sosial.

Jika banyak pertanyaan seputar politik, hobi & pekerjaan, tentu akan mudah terpompa untuk punya keingintahuan yg besar sesuai tipe komunitasnya.

Masalahnya, jika bergabung di grup politik, hobi, kesehatan, atau lainnya non filsafat, meskipun banyak ketidakpastian, namun arahnya jelas, duduk perkaranya jelas, sehingga mudah mengambil arah untuk memutuskan.

  • 👉 Meskipun bingung belum ada solusi, namun tak sampai lama ada solusi atau ada keputusan atas ketiadaan solusi.

Pada komunitas filsafat, jika kita menyadari banyak kebingungan yg ditimbulkan, namun kebingungannya sulit diatasi karena arahnya tak jelas. Kebingungannya mengambang, digantung ga jelas. Berbeda pada permasalahan non filosofis yg cenderung tak menggantung.

LINGKARAN WINA & METAFilsafat

Sekali lagi, itu sebabnya ada pertemuan "lingkaran Wina" & "usulan pembaharuan filsafat melalui METAFilsafat", agar❓FILSAFAT MEMBERI JAWABAN, MEMBAWA KEMAJUAN, DAN BUKANNYA SAINS YG MAJU.

⭕️ Mereka berpikir dimana salahnya di filsafat❓ADA KEPASTIAN DI SAINS, NAMUN TAK ADA KETENANGAN DI FILSAFAT

📌 Keren kan filsafat. Ketika banyak yg takut menghadapi matematika yg sulit, bingung menghadapi politik yg mengecewakan, susah menghafal rumus fisika, dibingungkan fakta sejarah, namun masih lebih bisa tenang dibandingkan ketika ketenangan diaduk-aduk oleh filsafat 😁

DI SINILAH INTI PERMASALAHAN YG MEREKA DULU ... SAMPAI SEKARANG TAK MENYADARI DIMANANYA❓

Antara Sains, Filsafat & Rasionalitas

Siapa bilang ilmuwan ga ngobrol, ga tanya jawab, ga saling berdiskusi. Begitu juga filsuf, namun sains lebih maju dibandingkan filsafat

"Pertemuan Lingkaran Wina" membahas tentang bagaimana agar filsafat bisa lebih dirasionalkan❓Bukankah filsafat mendasarkan kepada rasionalitas❓Ya memang demikian. Berarti perlu lebih dari sekedar rasionalitas? Empirik? Saintifik? Ilmiah?

Suatu rasionalitas yg bisa dibuktikan secara empirik? Rasionalitas yg bisa diobservasi❓Waw beraat. ALHASIL❓Ga-gal❗️

Ya tentu gagal, karena fondasi rasionalitas tak menjangkau semua wilayah sumber diperolehnya pengetahuan.

Standard Kelayakan - Logika Positivisme

Mereka ingin filsafat menjadi sistem berpikir yg bisa diuji secara sains❗️Suatu sistem filsafat yg bisa dipakai menganalisa semua bidang pengetahuan.

PADA AKHIRNYA, terjadi pembatasan, dimana mereka menganggap METAFisika tak masuk filsafat karena tak bisa diuji secara sains❓

📌 Ini yg disebut LOGIKA POSITIVISME, meng-ilmiahkan rasionalitas

Titik Temu Yang Tak Terlihat

Mau dipaksa secara bagaimanapun antara filsafat & sains agar sejalan, tetapi memang dasarnya sudah dianggap terpisah, padahal sekedar berbeda. Artinya, karena adanya perbedaan maka justru bisa saling melengkapi.

Sama-sama memakai rasionalitas, tetapi filsafat seolah tak bisa diuji secara ilmiah. Lalu dimana titik temunya❓

Minimal ada 3. Kalau anda menemukan lainnya, maka syukuri.

  • 1⃣ Pengamatan
  • 2⃣ Rasionalitas
  • 3⃣ Konsistensi

Kalau hanya tiga point itu lalu dimana tak terlihatnya❓Tak terlihatnya adalah ketika kedua kubu sama-sama timpang. Apa yg mereka klaim mereka langgar sendiri, dan itu bukan masalah jika memang ada ketaksempurnaan dalam menalar, namun jangan lalu membatasi jangkauan menalar.

Ibaratnya, kalau merasa telah lengkap, wajar jika berkata "ini kurang", ini ga perlu". Tetapi kalau di dirinya sendiri tak lengkap, namun membatasi pihak lain, seolah ilmuwan telah paham duduk perkaranya. Masalahnya, mereka juga tak bisa disalahkan karena tak tahu dimana salahnya

Titik Temu Filsafat & Sains - Pengamatan

Sains berkata, yg ilmiah harus empirik. Pertanyaannya seberapa empirik sesuatu itu❓

Jika secara sains pun semua yg empirik melalui pengamatan, sentuhan, atau secara bagaimanapun kita mengamati. Lalu dimanakah pengalaman spiritual, pengalaman di alam mimpi atau dimanapun pengalamannya, bisa dianggap bukan kategori bisa diamati❓

Di sini timpangnya sains, dan di sini pula kelebihan filsuf menerima hal yg dianggap subyektif oleh sains.

Nanti akan terlihat dimana ketimpangan titik temunya yg tak terlihat.

Untuk sementara, kita pahami dulu ketimpangan sains dalam membatasi konsep "pengamatan" yg sebenarnya terjadi tak hanya di wilayah eksternal, melainkan secara batinpun konsep "pengamatan" dapat terjadi

Titik Temu Filsafat & Sains - Rasionalitas

Dari pengamatan, kita bisa membuat kesimpulan. Menarik konsekuensi logis.

Demikian pula sains juga melakukan hal yang sama. Hanya saja sains menganggap kesimpulannya dapat diuji secara pengamatan - empiris - observasi. Tak dogmatis.

Pertanyaannya, lalu mengapa sains mengandalkan matematika yg rasionalitasnya diterima begitu saja tanpa pembuktian❓Wew

MENGAPA SAINS MEMINTA BANTUAN MEMETAKAN PENELITIAN ILMIAHNYA SECARA MATEMATIS YANG❓Pada akhirnya sains yg bersandar pada matematika tak perlu pembuktian empirik, melainkan cukup diterima begitu saja❓Tidak❓Ya mereka ilmuwan bisa membantah "saya menggunakan matematika untuk melihat ke arah mana hasil penelitiannya, yg nanti akan diuji juga secara saintifik - ilmiah".

  • 👉 Ya sama saja, tetap saja memerlukan analisis rasionalitas tanpa perlu pembuktian di suatu titik proses analisis tertentu, meskipun ujung-ujungnya harus diuji juga.

NAMUN MENGAPA SAINS TETAP LEBIH MAJU DARI FILSAFAT❓Dalam membangun peradaban❓

Titik Temu Filsafat & Sains - Konsistensi

Meskipun sains memerlukan analisis rasionalitas tanpa perlu pembuktian di suatu titik proses analisis tertentu. NAMUN MENGAPA SAINS TETAP LEBIH MAJU DARI FILSAFAT❓Dalam membangun peradaban❓

Itu karena sains mendasarkan pengamatan & rasionalitasnya pada❓KONSISTENSI❗️

Mereka para saintis, mengejar konsistensi. Berburu konsistensi. Berburu prediksi dengan probalitas yg tinggi.

Itu yg membedakan antara sains & filsafat. Mereka para ilmuwan, punya model yang konsisten dengan pengamatan empiris dan memiliki kemampuan untuk memprediksi hasil yang dapat diulangi.

DI SINI INTI PERMASALAHANNYA. SAINS PUNYA MODEL YANG KONSISTEN, SEDANGKAN FILSAFAT TAK MEMILIKI. Se-sederhana itu❗️

Sains & Model Kebenaran - Yang Konsisten - Rumusan

Begitulah sains dibentuk. Dimulai dari riset skala kecil. Lalu menemukan postulat - postulat. Ya, menemukan kebenaran - kebenaran kecil.

Ada rumus kecepatan, rumus gravitasi, rumus energi, ketetapan Planck. Konsep paket energi - kuanta dan lain sebagainya.

Demikian pula matematika. Juga punya rumusan seabrek. Mulai dari rumus segitiga, parabolik, invers, limit-kalkulus dan sebagainya.

Subyektifitas

NAH, GILIRAN ANDA BERTANYA PADA FILSUF. APAKAH ANDA (FILSUF) PUNYA RUMUSAN JUGA YG BISA KITA PAKAI.

  • Kata filsuf "ya saya ada, ini kebenaran abstrak, ini kebenaran subyektif" bla bla bla ...

Sebatas itulah filsafat, suatu sumbangsih subyektifitas yg diperparah dengan semakin banyaknya ambiguitas yg menyeret ke polemik demi polemik

Jika filsuf membela diri "hei, kita memang tak cenderung objektif, namun subyektifitas perlu untuk membentuk kebijaksanaan yg tidak kaku". Okay, tetapi jangan mengarah ke polemik (mengatasi masalah dengan masalah)

KEBANGKITAN FILSAFAT - Jati Diri Filsafat

Di sinilah perlunya filsafat model baru. Begitulah kata mereka para filsuf dunia. Perlu METAFilsafat. NA-MUN, kembali ke permasalahan utama. Mereka sendiri bingung memastikan harus bagaimana METAFilsafat dijalankan agar bisa mengimbangi gerak maju sains❓

Pada akhirnya❓Konsep METAFilsafat ya macet. Pertemuan "Lingkaran Wina" juga terjadi kemunduran. SAMPAI SEKARANG❗️Sekali lagi kemajuan apapun yg dilakukan oleh filsafat, masih lebih besar kontribusi sains terhadap peradaban.

Bahkan filsafat cenderung jauh dari agama. Juga filsafat sulit memasuki wilayah spiritualitas secara mandiri.

Filsuf yg bisa mengungkapkan pengalaman mistik, bukanlah kemandirian filsafat, melainkan perlu bantuan spiritualitas.

Begitulah, agama, spiritualitas & sains semakin akrab meninggalkan filsafat yg berputar-putar pada kebanggaan intelektual sebatas bertanya dan bertanya teruuus menerus, menit demi menit, jam demi jam, waktu demi waktu tanpa mencerahkan kecuali hanya memancing waswas

KEBANGKITAN FILSAFAT - Rasional Objektif

Jika perlu filsafat model baru❓ Begitulah kata mereka para filsuf dunia. Perlu METAFilsafat❓Tidak juga. Sebenarnya cukup FILSAFAT SAJA, telah mampu mengimbangi sains. JIKA, DAN HANYA JIKA❓

✅ Jika dan hanya jika filsafat mampu menemukan rumusan seperti yg ada pada matematika & fisika

Dengan kemampuan matematika & fisika menghadirkan rumus yg khas matematika & khas fisika, tentu ini memberi nilai objektifitas.

Rasional (Logika) Yang Objektif (Positivisme)

Demikian pula pada filsafat, yang❓Jika dan hanya jika mampu menghadirkan rumus yg khas filsafat, tentu filsafat menjadi lebih objektif

Tak sekedar rasional yg harusnya objektif, namun meyakinkan semua kalangan bahwa yg dulunya filsafat terkesan rasional tetapi tak terbukti objektif (sebatas konsep), sekarang (dengan rumusan yg ada di filsafat] akan semakin membuktikan rasionalitas filsafat yg terbukti objektif

🔰 Inilah inti dari permasalahan filsafat. Tuduhan subyektifitas atau rasionalitas sempit yg tak objektif

KEBANGKITAN FILSAFAT - Modul Kebenaran

Begitu pula yg seharusnya terjadi pada Filsafat. Mampu menghadirkan tak sekedar ungkapan yg rasional namun juga objektif.

Di sinilah peran perumusan pengetahuan yg fondasinya kemutlakan yg universal.

Inilah yg saya namakan sebagai "Modul Kebenaran" yg dapat dipakai untuk menalar secara modular

Ini sama seperti yg ada pada matematika dengan himpunannya, kalkulusnya. Juga pada fisika dengan "kuanta"nya.

Maka melalui perumusan pengetahuan yg mutlak, membawa filsafat ke posisi yg rasional objektif, logika positivisme atau apapun sebutannya, yang intinya, BAHWA KEBENARAN FILOSOFIS TAK HANYA RASIONAL NAMUN JUGA OBJEKTIF (yang berarti dapat diuji secara empirik).

❇️ Ya itulah modul kebenaran pada filsafat, yang sayangnya tak dikenal di filsafat kecuali baru di METAFilsafat

KEBANGKITAN FILSAFAT - Uji Konsekuensi Logis

Lalu, jika filsafat telah dilengkapi dengan rumus-rumus kebenaran sebagai modul-modul kebenaran, pertanyaannya, apakah bisa diuji secara empirik❓

Tentu. Meskipun pada awalnya baru sebatas kesimpulan atau konsekuensi logis, namun hal itu sudah merupakan pengungkapan hubungan sebab-akibat, yg berarti dapat diuji.

Sama seperti pada sains yg mengandalkan matematika untuk melihat ke arah mana konsekuensi logisnya, maka demikian pula pada filsafat yg juga mengungkapkan kebenaran- kebenaran konsekuensi logis yg harus teruji secara objektif.

Pertanyaan lainnya. Bukankah filsafat cenderung subyektif, dogmatis, kepercayaan atau keimanan, lalu dimana nilai objektinya❓

Hubungan Sebab-Akibat

Dari rasionalitas menuju objektifitas yg terbukti teruji, membuktikan akurasi filosofis yg mengungkapkan keterhubungan sebab-akibat di modul- modul kebenaran.

MetaFisika

📌 Apakah METAFisika punya nilai objektifitas seperti yg dituntut oleh sains❓

SINERGI ANTAR DISIPLIN KEILMUAN - METAFisika

Apakah METAFisika punya nilai objektifitas seperti yg dituntut oleh sains❓Ya❗️Yaitu Kon-sis-tensi

Apapun nilai objektifitas. Klaim ilmiah, saintifik, bernilai sains, teruji secara empirik dan nilai pengujian melalui cara yg bagaimanapun, semuanya berakhir ke satu tujuan yaitu MENCARI NILAI KONSISTENSI

Jadi, mau melalui jalur sains, empirik, observasi, uji objektifitas, eksperimen di laboratorium atau di dunia nyata (di luar dunia ide), maka semuanya dinilai seberapa konsistennya. ARTINYA❓

Bahkan kalaupun itu upaya penyelidikan secara spiritualitas, jika hasilnya konsisten, maka itu adalah pencapaian terbaik dari sisi pencarian kebenaran (filosofis, matematis, fisika & lainnya)

Objektifitas Yang Konsisten

❇️ JADI TAK PERLU ALERGI ATAU MEMBATASI Filsafat atau keilmuan lainnya, jika sejauh bisa mengungkapkan konsistensi, maka itulah nilai objektifitasnya

OBJEKTIFITAS

Jadi semua bentuk objektifïtas tak sebatas teruji secara empirik, namun konsistensinya harus dipastikan secara relevan, sesuai sudut pandang dan konteks yg memungkinkan.

Kata kuncinya adalah konsistensi. Dengan diraihnya derajat konsistensi dari satu atau beberapa kesimpulan dari berbagai disiplin ilmu, maka akan semakin terlihat adanya universalitas pengetahuan yg saling bersepakat antara sains, spiritual, agama & filsafat.

🧩 INILAH TITIK OBJEKTIFITAS YG DAPAT DITEGAKKAN BAIK DI FISIKA, MATEMATIKA, FILSAFAT & BIDANG DISIPLIN KEILMUAN LAINNYA. YAITU❓KONSISTENSI❗️

⭕️ Pertanyaannya ...❓Sudahkah melalui berfilsafat anda menemukan objektifitas yg berlandaskan kebenaran mutlak❓

✅ Di METAFilsafat kita telah memulai menegakkan rasionalitas yg objektif. Melalui❓Konsistensi yg universal❗️ Ya, melalui eksplorasi kebenaran mutlak sebagai modul- modul kebenaran yg dapat dipakai untuk menalar modular, sebagaimana yg telah terlebih dahulu dilakukan ilmuwan & matematikawan

🔰 OBJEKTIFITAS

〰 ❇️ Bangunlah filsafat dengan fondasi rumus-rumus kebenaran sebagaimana yg ada pada matematika & fisika, melalui modul- modul kebenaran mutlak

〰 ✅ Jangan Hanya Bertanya, Tetapi Rumuskan Atau Bertanya Saja Secukupnya

🔰 Jika Filsafat telah mencapai objektifitas melalui perumusan kebenaran mutlak sebagai modul-modul kebenarannya, maka di sinilah peran filsafat semakin seimbang, dimana mampu melihat dari sudut pandang objektif agar dapat melihat kebenaran secara apa adanya, dan mampu bersikap kontekstual melalui subyektifitas yg relevan"

--

--

Seremonia
Seremonia

No responses yet