Adakah metafilsafat? Seperti apakah metafilsafat? Bagaimanakah sebenarnya merumuskan "meta"?
Kata “meta" berarti "setelah". Metafisika berarti setelah fisik - materi. Sesuatu setelah materi."
Ketika kita mengarahkan segala perhatian ke materi, maka ke arah mana lagi kita arahkan selain dari materi? Yaitu ke arah berikutnya, setelah (meta) materi - metafisika.
Itulah metafisika, "setelah materi". Suatu hal diluar materi. Hal berikutnya yang bukan materi.
Metafisika merupakan hal diluar materi - non materi. Sesuatu yang luar biasa - super. Supermateri - supramateri, suatu alam materi yang super - supranatural. Dimensi yang lebih mendasari realita kita.
Meta
"Meta" adalah posisi diluar dari yang diketahui. Metafisika, maka ini mengarah ke posisi diluar dari yang diketahui "fisika" - materi, yaitu diluar fisika - diluar materi.
Walaupun, secara struktur realita, keduanya "metafisika" & supranatural adalah sama, tetapi keduanya dibedakan dari segi pendekatan terhadap struktur realita yang sama.
Ini seperti mengatakan dua hal yang berbeda untuk keadaan yang sama. Contohnya "mendidihnya air" dapat dinyatakan dengan "air yang memanas" atau "air yang emosi"
Demikian pula, metafisika & supranatural menunjuk ke hal yang sama, yaitu dimensi realita yang lebih mendasar, tetapi metafisika mendekati melalui pemahaman aksiomatis - metafisika, sedangkan supranatural didekati melalui praktek spiritual.
Dari contoh metafisika & supranatural, kita dapat merumuskan "meta".
"Meta" merupakan kemendasaran. Sesuatu yang meliputi - universalitas yang berbeda sesuai level tertentu.
- seperti universalitas di dimensi realita kita, materi adalah sesuatu yang padat,
- tetapi di level kemendasaran lebih dalam lagi - secara universal, materi adalah hal yang ber-rongga (tersusun dari partikel)
Permasalahan Filsafat
Mereka merasa ada masalah di dunia filsafat. Suatu landasan berpikir yang perlu diperbaiki. Suatu perbaikan terhadap penalaran.
Bahkan filsafat memisahkan diri dari ranah spiritual. Eksklusifitas filsafat yang berdiri kokoh diatas fondasi berpikir dan mengabaikan praktik spiritual.
Ada apakah ini? Ada yang salahkah di fondasi filsafat?
Karl Popper berpikir bahwa hal yang perlu diperbaiki dalam penalaran adalah masalah pendekatan induksi. Ini perlu didekati melalui metode falsifikasi.
Tetapi bahkan filsafat juga seperti jalan di tempat. Tiada kemajuan yang cukup untuk menyajikan argumentasi yang kokoh bagi perbaikan kemanusiaan - bagi suatu peningkatan kebijaksanaan.
Bagaimanakah model penalaran dalam filsafat yang dapat meluaskan penegasannya di ranah yang banyak penuh misteri?
Seperti diketahui, ada keanekaragaman cara pendekatan kesadaran, seperti melalui: berpikir, merasakan. Suatu pendekatan deduksi, induksi, ditambah lagi falsifikasi karl popper. Apalagi? Penalaran imajinatif - gedanken experiment?
Adakah struktur filsafat yang dapat menyatukan segala bentuk keanekaragaman cara pendekatan kesadaran?
Perbaikan Filsafat Dari Kita
Adakah diantara kita yang memiliki ide tentang bagaimana bentuk penalaran yang perlu diperbaiki atau ditingkatkan bahkan dilengkapi, agar struktur dasar filsafat menjadi lebih mampu merangkul semua cara penyelidikan kebenaran demi tercapainya kebijaksanaan yang lebih meluas?
Suatu upaya memperbaiki filsafat, agar menjadikan seorang filsuf sebagai detektif kebijaksanaan yang handal.
Detektif Kebijaksanaan
Ketika filsafat berpegang kuat pada penalaran, sedemikian jauh diperbandingkan dengan mereka yang mendekati kebijaksanaan melalui spiritual, terjadilah ketimpangan dalam mengenali sudut-sudut kebijaksanaan.
Para filsuf membanggakan fondasi bagi penjelajahan filosofis mereka. Para filsuf penuh kepercayaan diri sebagai detektif kebijaksanaan. Tetapi bahkan mereka tidak dapat memahami misteri penciptaan, justru menolak adanya penciptaan.
Belum lagi isu pandangan dunia yang telah disadari oleh mereka yang tercerahkan, namun belum juga diterima oleh para filsuf.
Transenden
Ada satu permasalahan bagi detektif kebijaksanaan, bahwa ada diantara mereka sebagai filsuf yang tidak sanggup menjalin keterhubungan transenden dengan dimensi yang lebih luhur.
Itupun karena mereka memang tidak mampu memasuki dunia metafisika.
Terlepas dari apakah mereka menolak hubungan transenden atau menerima, tetapi tetap saja ada hubungan transenden yang diakui oleh kita, sementara mereka para filsuf menghindari menjauh dalam keterasingan.
Mereka para filsuf mendadak menolak hubungan transenden sebagai hal yang tak dapat diterima oleh penalaran filosofis.
Pandangan Dunia - WorldView
Diperlukan pandangan dunia. Perumusan yang dapat diterima secara meluas, agar terasa manfaatnya dari kegiatan filosofis.
Tetapi benarkah filsafat benar-benar berada di atas fondasi penalaran yang buruk? Deduktif? Induktif? Gedanken Experiment? Masih kurang seperti bagaimana lagi?.
Deduksi, induksi atau penalaran imajinatif ternyata tidak mampu membawa filsuf mendekati wilayah metafisika yang semakin dalam.
Pandangan dunia:
- Ada satu pandangan dunia tetapi juga sulit menyatukan dua dunia, dunia filsafat & supranatural. Itu adalah menyadari kebenaran secara aksiomatis. Sedemikian sulit, sehingga tidak semua filsuf dapat meraih sudut kebenaran ini. Lalu, tidak menjadi populer sedemikian rupa, sehingga pandangan dunia ini tidak menjadi gerakan global yang berpengaruh. Hasilnya? Filsafat menjadi diam ditempat, tidak maju memperluas potensi diri kita lebih baik lagi menembus batas dimensi - transenden.
- Ada pula pandangan dunia yang menegaskan bahwa kebijaksanaan itu adalah mengikuti ajaran agama. Bahwa ajaran agama itu lengkap bagi kebijaksanaan kita, sehingga dengan mengikuti ajaran agama - suatu kepatuhan, akan secara otomatis meletakkan kita pada posisi mendekati menegakkan keadilan. Inilah suatu kebijaksanaan. Tetapi ini ditolak oleh filsafat yang merasa tidak memerlukan agama.
- Ada pula pandangan dunia bahwa mewujudkan kebijaksanaan itu adalah suatu penegakan keadilan. Namun terbukti, filsafat tidak mampu menerima spiritualisme sebagai bagian dari penegakan keadilan yang merupakan dasar dari filsafat itu sendiri.
Kesia-siaan Filsafat Perenial - Filsafat Abadi
Jadi, mereka para filsuf seolah telah mampu bernalar untuk mencapai kebijaksanaan yang semakin meluas.
Bahkan ada yang menyadari pengetahuan abadi yang selaras dengan agama.
Suatu temuan pandangan dunia yang abadi.
TETAPI SEDIKIT SEKALI DARI MEREKA YANG TERHUBUNG SECARA TRANSENDEN.
Mereka pada akhirnya masih menjaga jarak dari menjelajahi dimensi metafisika yang justru merupakan wilayah (cabang) kebenaran (filsafat) yang diakui oleh mereka sendiri.
Bagaimanakah bentuk dari metafilsafat sebenarnya?
Bagaimanakah pandangan dunia pada metafilsafat, yang mampu memperbaiki filsafat secara lebih transenden?
Apakah metafilsafat adalah filsafat transendental? Ataukah agama adalah metafilsafat? Teologikah suatu metafilsafat?
Lalu, bagaimanakah struktur metafilsafat yang mampu menyatukan keanekaragaman pendekatan kesadaran terhadap wilayah kebenaran? Wahyu Ilahi? Aksioma? Atau ...?
Filsafat & Konflik Internal
Adakah kesatuan dalam cara bernalar pada filsafat? Bahwa penalaran hanya didasarkan kepada deduksi, induksi atau lainnya, atau gabungan dari beberapa cara? Tetapi benarkah masih juga tak mampu mengadopsi hubungan transenden?
Adakah bentuk penalaran yang berbeda yang mendasari semua yang ada? Suatu meta-penalaran?
Ada yang bahkan menegaskan bahwa penalaran filsafat hanya seperti kalkulasi saja. Tidak memiliki kedalaman. Namun, ketika ditambahkan kedalaman dimensi melalui penalaran imajinatif, masih juga dianggap tidak cukup berkualitas untuk sekedar bersepakat dalam metafisika.
Diantara filsuf lebih banyak saling bertentangan dibandingkan dengan mereka yang telah memasuki dunia metafisika secara spiritual.
Mereka yang menapaki jalan pencerahan cenderung memiliki kesamaan pendapat - suatu pandangan dunia yang abadi.
Landasan Kebenaran Filsafat
Ketika sesuatu dikatakan sebagai hal yang benar, lalu dimanakah derajat kebenarannya?
- ... dengan kesimpulan yang benar dari premis-premis yang juga benar? atau ...
- ... dengan kenyataan yang memiliki kemungkinan besar untuk terjadi? atau
- ... dengan pengamatan imajinatif yang sedemikian teliti detailnya secara sangat realistis? atau
- ... dengan falsifikasi Karl Popper? atau
- ... dengan kenyataan yang aksiomatis? atau
... yang mana lagi?
Yang manakah? Bagaimanakah seharusnya?
Seharusnya adalah seperti ini:
bahwa agar kebenaran filosofis dapat diterima & diperluas, maka harus ditegakkan atas dasar kenyataan induktif dengan kedalaman dimensi yang teramati secara empirik atau imajinatif serta terstruktur secara deduktif dan dapat difalsifikasi.
Penjelasannya seperti ini,
bahwa kebenaran diketahui terlebih dahulu melalui proses induksi yang dilandasi oleh pengamatan empirik atau secara imajinatif, lalu disusun ulang secara rapi dalam struktur deduktif untuk kemudian difalsifikasi dalam upaya mempertahankan kebenarannya.
Contohnya seperti ini ...
mengamati bahwa makhluk hidup akan berakhir menuju kematian, salah-satunya manusia, lalu disimpulkan bahwa manusia akan mati, dan difalsifikasi untuk melihat universalitasnya.
Ini sebenarnya sudah lebih dari cukup sebagai alat penalaran dalam filsafat. Bahkan banyak metode dalam menarik kesimpulan, seperti logika simbolik.
Belum lagi dibantu oleh penalaran manusiawi yang diwakili oleh teknologi artificial intelligence, yaitu machine learning. Ini dilakukan untuk meningkatkan akurasi dari metode logika yang telah dikenal.
Puncak kesenjangan antara filsafat dan transedensi adalah ketika ditemukan metode ilmiah. Lalu mendadak mereka merasa bahwa jika tidak menggunakan metode ilmiah, berarti cara penyelidikannya tidak ilmiah. Untung saja metode ilmiah masih didampingi oleh falsifikasi Karl Popper, yang membantu temuan ilmiah menjadi lebih diakui.
Mereka jadi mudah menuduh bahwa pandangan dunia yang mencerahkan dari upaya spiritualisme sebagai pandangan dunia yang absurd, tidak ilmiah, tak dapat divalidasi - tak dapat diuji, tak dapat difalsifikasi.
Ada sedikit saja yang tidak masuk akal, segera dituduh tidak ilmiah, cenderung pseudoscience.
Dan semakin jauh saja jurang antara filsafat dan transendensi.
Upaya Menuju Kesatuan
Tetapi bersyukurlah bahwa ditengah kebingungan yang meragukan filsafat sebagai hal yang bernilai guna, ada bantuan dari Tuhan, yaitu agama.
Agama-lah yang mempersatukan dua dunia. Dunia filsafat & dunia transendensi. Mengapa ini bisa terjadi? Karena sebenarnya agama itu meliputi dua dunia, bukan sesuatu yang terpisah dari filsafat.
Hanya saja, sekali lagi, filsafat menolak agama sebagai sekedar doktrin. Sesuatu yang tidak logis, dan ini didukung oleh peneliti alam melalui metode ilmiahnya. Tanpa disadari (atau disadari), membuat para filsuf berpikir bahwa doktrin agama telah dikalahkan dua kali, pertama tidak logis serta tidak ilmiah.
Mereka sebagai filsuf dan ilmuwan, secara diam-diam, secara terang-terangan, disadari atau tak disadari, membentuk ikatan saling bersepakat menolak agama, juga menolak spiritualisme, suatu ranah metafisika yang mereka sendiri tekuni.
Lalu mereka berdalih bahwa mereka telah mengakui ranah metafisika, bahkan ada yang sedemikian beriman. Dari filsafat menuju keimanan. Dan lagi-lagi, ini suatu gerakan yang sebatas konsep, sekedar suatu toleransi. Tidak juga membawa hubungan transenden.
Bahkan kaum filsuf tidak mampu melihat konflik dalam agama sebagai suatu konflik kemanusiaan dan bukan sebagai konflik internal doktrin itu sendiri. Mereka menuduh agama sebagai hal yang penuh dengan kontradiksi sekaligus suatu hal yang chaos.
Mereka tidak dapat menyadari bahwa kabut tebal tidak dapat menipiskan (mengaburkan) hakekat realita (kebenaran) kecuali sejauh pandangan.
Filsafat menjadi seperti sosok menyeramkan tetapi layak ditekuni karena terkesan berani menantang kekacauan dengan mengolah pengetahuan untuk merapikan sudut pandang realita, tetapi ternyata pada akhirnya justru menjebak mereka dalam kekalutan yang bertambah-tambah
Filsafat identik dengan kekacauan - chaos. Hal yang nampak rapi dalam menelaah suatu realita, sebenarnya hanya seperti berputar-putar di tempat penuh kebingungan. Seolah seperti hanya sekedar bermain kata, bermain logika, bagai anak kecil yang mengeja cara membaca dengan harapan kelak dapat membaca berita dunia dan memahaminya, tetapi ujung-ujungnya hanya sekedar pandai memahami tanpa dapat bersikap yang merubah diri mereka menjadi lebih bijaksana, berkeadilan.
Hanya sekedar permainan intelektual yang membanggakan, dan bukan upaya intelektual yang mencerahkan.
Tidak masalah jika memasuki filsafat untuk melihat kebijaksaan yang dapat diterapkan bagi kita. Untuk melihat pandangan dunia yang abadi sebagai dukungan harapan dan mengatasi kekalutan kita. Tetapi juga jangan semudah itu mendiskreditkan agama & spiritualisme.
------
Inilah wajah filsafat yang pertama kali saya ketahui. Wajah yang mencerminkan kegalauan, ketidakpercayaan diri yang sedang mencari jati-diri sebagai sesuatu yang layak. Kurang matang.
Suatu wajah filsafat yang muram yang bahkan mereka yang menekuni filsafat ... tidak melihat wajah filsafat yang muram. Mereka hanya melihat wajah filsafat yang ceria penuh keberanian, sedangkan saya melihat wajahnya sebagai sebuah sandiwara luar biasa yang menutupi kegalauan sang filsafat di lubuk hatinya yang berstruktur sedemikian lemah.
Adakah yang kurang dalam filsafat, sampai berani memisahkan diri dari agama & spiritualisme, sehingga menjauhkan filsafat dari hubungan yang transenden?
Inilah sang filsafat yang sedang tersesat. Tersesat karena tiada yang membantu sang filsafat untuk melihat jurang metafilsafat yang dalam tetapi penuh kebenaran yang sesungguhnya. Obat bagi sang filsafat.
Pandangan Dunia Yang Mentransendenkan Filsafat
Ketika filsafat sedemikian beraninya membanggakan struktur penalarannya yang dianggap valid, tetapi ternyata tak dapat mempersatukan dirinya dengan agama, maka datanglah Blaise Pascal dengan ...
Pascal's Wager - suatu pandangan dunia yang abadi. Suatu pandangan dunia yang valid - kokoh, ketika dihakimi dari sisi penalaran manapun.
Namun, tetap saja sang filsafat tersesat jauh dengan mengabaikan agama.
Meta Membedah Filsafat
Bagaimanakah Kebenaran Itu?
Bagaimana sesuatu disebut benar? Masuk di akal? Masuk di rasa?
Mengapa menggapai kebenaran begitu sulitnya?
Karena banyak tawaran jalan kebenaran. Lalu, bagaimana kita dapat memilih yang tepat? Juga sulit.
Disinilah sebenarnya seorang filsuf tidak dapat membanggakan diri sebagai detektif kebijaksanaan merangkap dokter kebijaksanaan.
Setiap orang yang saling berbeda, seharusnya mendapatkan perlakuan yang berbeda. Ini adalah fakta sederhana.
Dan hebatnya, alam, keadaan, lingkungan, hukum semesta, atau apapun sebutannya bahkan bertindak lebih dari cukup mengimbangi hal ini ...
Langkah Awal
Adalah langkah yang paling umum bagi suatu komunitas di suatu generasi atau era tertentu.
Suatu panduan yang paling sederhana bagi kita, yang akan berlanjut ke tahap berikutnya.
Demikianlah ... selalu ada langkah awal ...
Langkah awal seharusnya merupakan langkah yang paling mudah.
- ... paling mudah dikenali serta
- ... juga pengorbanan terkecil, sehingga
- ... berpeluang lebih mudah dijalankan
Mengenali langkah awal dalam mencari kebenaran, tidaklah semudah mengenali cara berkendara atau menjalankan suatu alat yang telah dibuatkan buku petunjuk pemakaiannya. Namun harus dimulai dari melihat ke arah pandangan dunia yang abadi - filsafat perenial. Mengapa?
Karena kebenaran lebih luas dari sekedar aktifitas sehari-hari. Kebenaran adalah fondasi dari realita serta fungsi yang bekerja di dalamnya sehari-hari.
Kita memerlukan suatu hikmah yang abadi, untuk mengenali seperti apakah suatu langkah awal dari suatu jalan kebenaran.
Menyempurnakan Langkah Awal
1. Mengenali langkah awal melalui pandangan dunia
Contoh:
- ... Datangi/pilih yang paling relevan sesuai keperluan | Untuk membeli obat antibiotik haruslah mengikuti pandangan dunia, bahwa apotik adalah toko obat, bukan toko suku cadang kendaraan, sehingga langkah awal adalah mendatangi apotik, bukan mendatangi pasar ikan. Selalu ada pengecualian bahwa di pasar ikan ada teman yang menyediakan obat antibiotik, tetapi ikutilah pandangan dunia untuk memperkecil resiko bahaya.
2. Memperkecil resiko bahaya pada langkah awal. Sekali lagi, diperlukan pandangan dunia
Contoh:
- ... Pascal’s Wager
- ... Segala sesuatu ada batas umur pemakaian | Beli susu kadaluwarsa - expired sangat beresiko bagi kesehatan
- ... Apapun yang berlebihan memberi dampak yang buruk
3. Memudahkan pelaksanaan langkah awal. Dan inipun diperlukan pandangan dunia.
Contoh:
... Serahkan sesuatu pada ahlinya jika ingin hasil yang baik.
------
Langkah awal inipun sebenarnya masih memerlukan beberapa hal yang sangat kritis, untuk membentuk tahapan berikutnya yang mengarahkan kepada keadaan lebih besar perolehan keberuntungan dibandingkan kerugiannya.
Langkah awal ..., adalah hal pertama kali yang diperlukan bagi seorang filsuf yang mencerminkan kebijaksanaan sebagai ciri atau misi dari filsafat.
+++ Sekali lagi ... menyempurnakan langkah awal dengan panduan berdasarkan pandangan dunia +++
Merumuskan Langkah Awal
Setelah kita mengetahui ke arah mana harus melangkah, dan dimulailah langkah awal kita, maka hal berikutnya yang perlu dilakukan adalah langkah pertengahan.
Sebelum menginjak ke langkah pertengahan, kita perlu merumuskan terlebih dahulu, bagaimanakah langkah awal sebenarnya.
+++ Langkah awal disini adalah mengadopsi pandangan dunia +++
LANGKAH PERTENGAHAN
Mencari Keselamatan
Sebenarnya ini bisa dirubah urutannya. Mencari keselamatan sebagai langkah awal, lalu dilakukan mengadopsi pandangan dunia yang menyelamatkan.
Tidak masalah, karena ada diantara mereka yang tidak dapat berpikir lebih jauh tentang cara penyelamatan kecuali sekedar percaya yang dianggap menyelamatkan, sehingga langkah awal dengan mengikuti pandangan dunia, lalu berikutnya adalah upaya penyelamatan.
Sebelum dijelaskan tentang bagaimana upaya penyelamatan sebagai langkah pertengahan dipakai sebagai kelanjutan bagi langkah awal sebelumnya yaitu mengadopsi pandangan dunia, perlu dijelaskan terlebih dahulu tentang "AKAL & PIKIRAN".
AKAL & PIKIRAN
Secara mendasar, pikiran adalah sistem yang memiliki fungsi untuk melakukan perbandingan untuk mencari kesesuaian
Contoh sederhananya: berpikir untuk membuat perbandingan "kunci" dengan hal lainnya agar diketahui harus diletakkan dimana ? ternyata itu adalah "kunci pintu", sehingga harus dimasukkan ke lubang kunci di pintu yang sesuai. Demikian pula, agar berhasil membuka pintu, perlu dilakukan perbandingan untuk penyesuaian posisi & gerak kunci agar pintu terbuka.
Secara mendasar, akal adalah mengarahkan pemikiran demi tercapainya kebaikan yang menyelamatkan.
Jadi menemukan jawaban bahwa "kunci tertentu adalah kunci pintu dan mengetahui cara membuka" bukanlah sesuatu tanda yang berakal, kecuali jika hal itu membawa kebaikan yang menyelamatkan 🙏
------
Ada akal yang buruk untuk memperdaya, dan akal yang baik yang menyelamatkan.
Secara sangat singkat
... BERPIKIR itu MEMPERBANDINGKAN demi PENYESUAIAN agar MENYADARI takaran (batas - kemungkinan) suatu keadaan
... AKAL itu MENGAWASI (mengarahkan) proses BERPIKIR AGAR TERJAMIN keberhasilan dari proses berpikir itu sendiri demi KESELAMATAN
------
Secara layman's terms
... Berpikir = mencari kesesuaian (yang secara alamiah cenderung menyelamatkan/merugikan) -
... Berakal = menjamin kesesuaian (yang secara disengaja membawa keselamatan/kerugian) - berstrategi mengatasi kebuntuan
Secara praktek (praktis):
Berpikir itu menjelajahi keterhubungan untuk menyimpulkan yang menyadarkan (tentang baik-buruk, untung-rugi , selamat/celaka)
Berarti berpikir tidak ada bedanya dengan berakal yang juga bertujuan menyelamatkan? Bukan begitu, ada batas tipis disini yang tidak disadari.
Mereka yang berpikir memang dapat membawa kepada keselamatan, tetapi sebenarnya tujuan akhir hanya sebatas diperoleh penyesuaian, yang secara mendasar disebut sebagai kebaikan. TETAPI TIDAK BENAR-BENAR DIPASTIKAN MENYELAMATKAN.
Jika mereka benar-benar - SECARA PASTI, ingin meraih keselamatan, maka mereka akan menggunakan akalnya. Mengapa?
Karena jalan menuju keselamatan itu lebih tersamar dibandingkan jalan menuju kebaikan.
Untuk meraih keselamatan, diperlukan (batas) strategi untuk membentuk peluang (sebagai arah yang menggiring) menjamin keselamatan), atau bisa juga dengan melihat peluang (sebagai arah yang ditentukan) yang mengikuti (batasan) strategi.
Menuju kebaikan tidak diperlukan akal, tetapi menuju keselamatan-lah diperlukan strategi sebagai tanda orang berakal.
Mereka yang berstrategi untuk kebaikan, berarti tidak menggunakan akalnya secara optimal sesuai peruntukannya.
Jadi berstrategi seharusnya menyelamatkan dan bukan sekedar menguntungkan.
Mereka yang berpikir akan menyadari kebaikan, tetapi mereka yang berakal dapat menyadari hikmah yang lebih dari sekedar menguntungkan tetapi bahkan menyelamatkan.
Orang yang berakal dapat menyadari hikmah yang menyelamatkan. Orang yang berpikir dapat menimbang kebaikan (baik-buruk).
TIADA HIKMAH YANG TIDAK MENYELAMATKAN!
MENAPAKI LABYRIN
Hal yang tidak kita sadari bahwa sebenarnya, kita hanya bisa berkehendak untuk berakal!
Selebihnya , jiwalah yang merespon dengan memberikan kelengkapan tambahan, lalu kita merasa "eureka" - telah menemukan sesuatu, mendadak merasa berakal, padahal itu semua limpahan dari-Nya melalui supra-sadar, turun ke bawah-sadar, lalu dipahami oleh kita melalui bahasa jiwa (cetakan bawah sadar)
Kita hanya berkehendak untuk mempelajari hikmah, lalu setelah perjuangan keras kehendak melalui berbagai rintangan yang dirasa cukup, maka diberikanlah pencerahan hikmah - strategi, dibalik sesuatu.
Jadi ketika Tuhan berkata berpikirlah, ber-akal-lah, secara praktek, kita hanya bisa mencoba dan mencoba lagi, terus dan terus ... menelusuri labirin kemungkinan, selebihnya terserah kapan Allah akan membuka jalan keluar dari labirin.
BERPIKIR
Berpikir secara aksiomatis adalah mencari keterhubungan untuk melihat adanya kesesuaian hubungan sebab-akibat secara objektif maupun melibatkan rasa.
Lalu bagaimana bisa suatu proses berpikir dapat menyadarkan? Itu karena ketika kita sedang menjelajahi hubungan-hubungan apapun jenisnya, membangkitkan suatu rasa tertentu yang menyadarkan kita.
Contoh:
1. berpikir tentang hubungan dalam suatu peristiwa kecelakaan menimbulkan rasa ngilu, sedih - menelusuri objek menimbulkan kenangan atau rasa (nuansa) baru
2. berpikir tentang hubungan perasaan antar dua orang saling suka menimbulkan rindu - menelusuri rasa menimbulkan rasa baru
Disitulah Tuhan memerintahkan kita agar berpikir yang membawa kepada kesadaran.
Bagaimana jika berpikir secara kering? Berpikir secara matematis? Disinilah perlunya ide segar dari pengalaman atau agama sebagai cara untuk mengkonversi keterasingan pemahaman kering menjadi pemahaman yang dapat dicerna dengan mudah - masuk di rasa.
Pemikiran yang masuk di akal, sebenarnya merupakan pemikiran yang tidak sekedar nyambung tetapi juga yang mengarah ke suatu tujuan yang menguntungkan atau bahkan menyelamatkan.
Pemikiran yang sekedar nyambung - terkoneksi, adalah pemikiran yang logis, tetapi belum tentu masuk di akal (tidak jelas arah tujuannya kemana , apalagi juga belum jelas membawa keselamatan).
Jadi, ada 2 bentuk pemikiran:
... berpikir yang logis dan
... berpikir yang masuk akal
Berpikir yang logis (belum tentu masuk di akal), yaitu ada alur yang berkesinambungan dalam proses menjelajahi hubungan sebab-akibat objek
--- Contoh: "di bumi ini, apel akan terlepas (jatuh) dari pohon (ke arah bawah)" ... ya lalu maksudnya ...?
Berpikir yang masuk di akal (berarti juga logis), yaitu ada tujuan dari suatu proses menjelajahi hubungan sebab-akibat objek.
--- Contoh: "di bumi ini, batu yang berat akan terlepas (jatuh) dari tebing (ke arah bawah), sehingga berhati-hati jangan sampai kita tepat di bawahnya, bisa kena & celaka" ... ya ini masuk di akal.
BERAKAL
Berakal secara aksiomatis adalah berstrategi dengan berpikir yang logis untuk melihat peluang yang dapat digunakan demi terjaminnya objek atau keadaan mengarah ke suatu keadaan tertentu (yang baik atau bahkan menyelamatkan)
Dari sisi yang lain, berakal adalah melihat peluang dari hasil berpikir yang logis, yang dapat dijalankan sebagai langkah yang strategis demi terjaminnya objek atau keadaan mengarah ke suatu keadaan tertentu (yang baik atau bahkan menyelamatkan).
Dengan berpikir kita menemukan arah yang baik, tetapi dengan berakal kita menemukan hikmah yang lebih dari sekedar memberi kebaikan, tetapi juga menyelamatkan
Bagaimanakah Berstrategi Itu?
Berstrategi itu melihat hubungan logis terpendek (tercepat), paling sederhana (termudah) dan konsisten (agar menyelamatkan) yang mengarah kepada tujuan tertentu (sesuai harapan)
MEMAHAMI KEBAIKAN & HIKMAH
Suatu kebaikan boleh jadi menyelamatkan, tetapi bukan merupakan jaminan.
Suatu hikmah itu menyelamatkan dan pasti merupakan kebaikan.
Suatu penyelamatan terkadang harus sedemikian tersamar untuk menjamin dijalankannya secara tuntas suatu proses. Disinilah saatnya melihat ke hikmah sebagai suatu upaya tersamar bagi suatu penyelamatan yang pada akhirnya juga mengakibatkan tersamarnya hikmah (sulit diketahui)
Akal-lah yang mampu melihat tersamarnya hikmah, melalui pemikiran penuh strategi.
PENGARUH JIWA DALAM AKAL
Agar berakal kita perlu berstrategi, tetapi bisa jadi ketika kehendak kita menerpa jiwa kita, lalu jiwa kita menyuarakan suatu strategi yang sebelumnya tak terlihat (ada yang bilang: tercerahkan, terilhami, laduni, terinspirasi, mendadak kreatif, atau apapun sebutannya)
WILAYAH KERJA PEMIKIRAN & AKAL - Perbedaan Utama Antara Berpikir & Berakal
Sebagai penutup pada bahasan tentang berpikir & berakal, perlu dijelaskan wilayah kerja antara pemikiran & akal agar jelas mendudukkan perkara ini.
Berpikir hanya sekedar menelusuri realita, mencari keterhubungan, dan jika ada keterhubungan maka dikatakan sebagai pemikiran yang berhasil.
Ini seperti menjelajahi peta perjalanan untuk mencapai suatu tujuan tertentu yang ditentukan oleh kehendak kita. Pemikiran hanya memandang sejauh tanpa halangan, dan jika ada halangan baru menghindari dan mencari rute lain.
Berbeda dengan akal. Ketika akal menelusuri peta perjalanan, maka akal akan mencari rute terdekat bukan karena adanya halangan, tetapi karena akal mampu beraksi keluar dari jalur untuk menelusuri kemungkinan.
ILUSTRASI
... Berpikir itu ibarat air yang mengalir dari atas ke bawah. Pemikiran dapat menemukan jalan terbaik untuk mengalir ke suatu tujuan, tetapi tidak dapat keluar dari pengaruh gravitasi. Ada satu arah aliran.
... Pada akal, bagaikan udara atau uap air yang tidak hanya bisa mengalir ke arah bawah tetapi mengalir ke arah manapun selama tiada halangan untuk mencapai tujuan yang sama.
— — —
Pemikiran tidak mampu berstrategi keluar dari satu jalur. Apa yang nampak seperti berstrategi pada pemikiran, sebenarnya hanya searah.
Akal karena mampu beraksi ke segala arah, sehingga nampak jelas upaya berstrategi untuk mencari jalan terbaik.
Hebatnya, justru disinilah jangkauan (strategi) akal yang mampu menembus batas realita yang ada menuju ke realita yang berbeda - wilayah yang berbeda, membuatnya dapat mengenali wilayah KeTuhanan. Sesuatu yang tak dapat dilakukan oleh hewan & tumbuhan.
Kalaupun ada hewan & tumbuhan mampu berbicara dan menyadari KeTuhanan, itu karena Tuhan menganugerahi akal secara khusus, bukan karena hewan tersebut berakal.
Itulah perbedaan utama antar berpikir & berakal.
Berakal memiliki jangkauan aksi lebih meluas ke segala arah dimensi realita, berbeda dengan berpikir yang hanya menjangkau satu arah bagai air yang mencari jalan terbaik satu arah ke arah tertentu (ke bawah mengikuti daya tarik gravitasi).
Akal mempunyai kemampuan "out of the box", sehingga berpotensi menjadi khalifah, yang menguasai komunitas hewan & tumbuhan yang tak berakal.
LANGKAH PERTENGAHAN
Ketika kita menyadari memiliki akal, dan watak akal adalah berstrategi dengan menjelajahi kemungkinan -kemungkinan yang ada demi keselamatan, maka mengapa kita justru seperti kehilangan akal kebingungan atau seperti kehilangan akal yang menempatkan diri di posisi yang paling lemah, dengan hanya berusaha menyelamatkan diri dari satu arah yang sempit? Sedangkan akal telah melihat banyak peluang kemungkinan, tetapi juga diingkari!
... Contoh , akal telah melihat solusi melalui Pascal's Wager dalam menghadapi kebingungan sebagai seorang atheis tanpa kepastian
Keseimbangan
Ketika binatang mampu mengancam manusia dari satu arah, sedangkan manusia dengan akalnya mampu mengepung hewan dari berbagai sudut.
Juga, ketika elemen-elemen keseimbangan tidak terletak di satu arah wilayah, melainkan menyebar di segala penjuru, lalu mengapa kita justru berjuang di satu sisi, sedangkan kita memiliki kemampuan meraih keseimbangan melalui berbagai arah yang mungkin?
- ... Apakah kita tidak memerlukan keseimbangan yang berarti kita lalai terhadap kebutuhan nutrisi yang seimbang bagi diri kita? Perlu!
- ... Ataukah kita memiliki segala yang ada di diri kita? Tidak!
... Ataukah kita pasti terkena masalah hanya dari satu arah, sehingga merasa dapat menuntaskan masalah secara sempit? Tidak selalu!
Jadi ..., langkah pertengahan pada metafilsafat adalah menjaga keseimbangan!
Sebenarnya filsafat di awal perkembangannya, memiliki harapan untuk memahami "prinsip pertama" (saya menyebutnya "Yang Tak Berawal", "Tuhan").
Namun terbentur oleh fakta di lapangan bahwa segala yang ada benar-benar nyata ada dapat di indera.
Dan mereka, para filsuf awal, entah atas dasar apa, memutuskan bahwa realita yang dapat di indera bersifat rendah, jadi prinsip pertama harus di luar dari realita yang terlihat, harus keluar dari realita dan harus melingkupi realita. Ini suatu gagasan yang luhur - suatu gagasan yang sebenarnya berasal dari bawaan (fitrah) manusia untuk Ber-Tuhan, suatu fitrah yang sebenarnya mengisyaratkan adanya Tuhan - Prinsip Pertama yang tersembunyi.
Maka, dari yang sebelumnya percaya pada "mitos" bahwa dewa-dewi menciptakan dan mengatur semesta, beralih ke "logos" suatu penyebab pertama.
Era peralihan dari "mitos" ke "logos" benar-benar memberi dampak besar pada arah filsafat selanjutnya, yang menentukan struktur filsafat.
Ketika pada akhirnya dicari cara bagaimana untuk menemukan "logos", lalu disadari bahwa ternyata penalaran logislah yang seharusnya memimpin dalam pencarian hakekat dari "logos".
Kemudian semakin nampaklah betapa hasrat manusia, benar-benar tidak dapat menjadi tuntunan dalam mencari kebenaran. Suatu pengamatan yang tidak stabil - berbeda dengan penalaran logis yang jelas.
Dari sinilah diputuskan bahwa penalaran logis menjadi senjata bagi filsuf dalam mencari "prinsip pertama".
Jadi, sebenarnya para filsuf awal telah memiliki hasrat untuk menyeimbangkan penjelajahan kebenaran, dengan mencurigai bahwa prinsip pertama haruslah tidak bersifat materi, tetapi bersifat metafisika.
Lalu, mengapa sekarang para filsuf justru menampakkan ketidak-seimbangan dalam mencari kebenaran?
Ini karena mereka tidak menyadari kesalahan fatal yang tersamar.
... bahwa gagasan mencari prinsip pertama diluar fisik (metafisika) berasal dari hasrat mereka, tetapi justru hasrat itu sendiri mereka tolak menjadi alat pencari kebenaran, maka terjadilah penolakan hal yang mendasar bagi pelengkap pencari kebenaran, dan jatuhlah mereka dalam ketidak-seimbangan.
Koreksi Landasan Berfilsafat
Ketika mereka menolak hasrat, seharusnya mereka menyelidiki tentang apakah hasrat itu, apa hal mendasar di balik hasrat, agar jangan asal menuduh hasrat sebagai hal yang mengotori kemurnian upaya mencari kebenaran, lalu mengunggulkan rasio sebagai yang paling utama.
Ini kontradiksi sebenarnya, ketika mereka menemukan gagasan dari "hasrat" sebagai sesuatu yang mereka tolak sendiri. Kesalahan fatal yang tersamar.
Lalu, apakah setelah mengadopsi rasio sebagai hal utama bagi pencari kebenaran, mereka berhasil menemukan prinsip pertama? Tidak!
Apa yang mereka kira rasio sebagai hal yang konsisten dibanding penyelidikan melalui hasrat, perasaan atau apapun sebutannya selain rasio, ternyata juga menunjukkan ke ambiguannya.
Bahkan penalaran logis juga menampakkan kebingungannya dalam memahami kebenaran. Banyak terjadi konflik ketidak-sepakatan di antara filsuf sampai sekarang.
Jadi, "mitos" juga ambigu, dan bahkan "logos" yang berlandaskan penalaran logis-pun menghadapi hal sama , ambiguitas.
Mereka mengira penalaran logis sebagai fondasi utama berfilsafat yang mencirikan penggunaan akal, tetapi sedemikian menggelikan bahwa mereka telah mereduksi akal hanya sebatas wilayah materi yang sebenarnya lebih luas sampai ke wilayah metafisika.
LANGKAH AKHIR
Untuk menuju ke langkah akhir, diperlukan satu lagi penyegaran tentang Ruh, Jiwa & Hati. Juga keterkaitannya dengan Akal.
RUH, JIWA & HATI
Hati itu adalah ruh yang bergetar. Ruh yang bergetar adalah ruh yang berkehendak.
Kehendak kita adalah ruh yang bergetar. Getaran (kehendak) ruh membentuk suasana hati.
Hati yang bersih adalah tanda suara ruh yang sedemikian syahdu (khusyu') dikarenakan ruh yang telah bergetar (berkehendak) dengan pola yang terbaik (sesuai yang dicontohkan Tuhan lewat agama , atau sesuai fitrah).
Tetapi bahkan ruh bergetar juga dalam batas tertentu sesuai cetakan jiwa.
Jiwa yang kuat akan memberikan cetakan yang kuat, sehingga ketika kehendak ruh bergetar mengikuti getaran yang tidak layak, maka tidak cukup menggoyang (cetakan) jiwa kita, sehingga jiwa juga tidak cukup tergetar untuk menyuarakan nada hati yang muram.
Hati yang bersih karena jiwa kita memiliki cetakan dengan pola yang benar, sehingga ombak getaran ruh tak mampu membentuk suara hati yang buruk jika cetakan jiwa kita berpola kebaikan.
Boleh jadi, jiwa kita baik, tetapi (karena tidak memiliki cetakan yang kokoh, sehingga) lemah, dan ketika kehendak ruh digoyang dengan pengaruh buruk, lalu bergetar secara berlebihan yang merusak cetakan jiwa baik tetapi lemah, maka hati akan menyuarakan kesedihan sebagai tanda ada yang berubah pada jiwa (kepribadian) kita, sebagai akibat dari pemaksaan kehendak ruh yang salah.
Hati Yang Galau
Hati yang kacau itu karena jiwa kita digetarkan lebih dari yang seharusnya atau digetarkan kurang dari yang seharusnya.
Begitulah, hati adalah nada dari alat musik yaitu jiwa, yang digetarkan oleh kehendak ruh.
Lalu, bagaimana posisi akal dalam hal ini
Akal timbul ketika kehendak ruh mengalami kebuntuan lalu mencoba mencari jalan di wilayah kerja lain.
Ketika kita tidak berkehendak mencari solusi atau berstrategi, maka kita belum berakal.
Segera setelah berakal dan mengalami kebuntuan secara terus menerus dan berjuang mencari jalan tanpa kenal putus-asa, maka ada saatnya ketika gerak kehendak terbentur dengan batas tertentu di jiwa yang membuat jiwa bergetar dan merespon dengan menampakkan sudut pandang lebih luas dan lebih luas lagi secara bertahap.
Di titik ini, kehendak ruh terkena beban menerima getaran jiwa sebagai sebuah solusi bagi akal.
Setelah kehendak diri terkena getaran jiwa bersifat strategis, maka pada saat itu juga terserah kehendak ruh untuk menjelajahi medan realita demi terwujudnya solusi berakal atau tidak. Jika pelaksanaannya tidak sesuai dengan arah bentuk kepribadian, maka berat hatilah sang ruh.
RUH YANG BERKEHENDAK
Bahwa suara hati, gerak jiwa, sudut pandang akal, semuanya tersebut ... berasal dari kehendak ruh.
Ada apa dengan kehendak ruh? Ada rahasia apa dibalik kehendak?
KEBEBASAN YANG TERBATAS
Ketika kita berkehendak, sebenarnya gerak kehendak kita terbatas. Apa yang membatasi gerak kehendak kita? Jiwa yang membatasi kehendak kita.
Lalu, dimanakah kebebasan kehendak kita? Itu terjadi ketika kita mampu mendobrak batas (jiwa) yang ada, dan membentuk batas baru yang lebih layak bagi arah kehidupan kita.
Jadi keterbebasan kita hanya sekedar berpindah ke bentuk batasan yang baru? Sebuah ketakbebasan lagi yang berbeda? Ya! Sebua ketakbebasan yang kita sepakati dibandingkan keterbatasan masa lalu yang membebani!
Jadi, kita bebas hanya karena kita bersepakat dengan ketakbebasan yang baru? Berarti kita tak pernah bisa bebas? Ya!
Kita selalu dalam batasan yang berubah dari suatu keadaan ke keadaan yang lain.
Contoh:
- … saya bekerja di bawah kepemimpinan seseorang, lalu saya mendirikan lapangan kerja sendiri karena tidak mau dibawah tekanan, tetapi sebenarnya kita hanya berada di bawah kepemimpinan yang berbeda
- ... saya tidak suka mengendarai mobil - terkekang, saya memilih motor kencang 600cc dengan batasan aturan baru dalam berkendara, lalu saya berganti mengendarai helikopter dengan keterbatasan yang berbeda lagi. Selalu dalam batasan yang berbeda.
Jika saya benar-benar bebas tanpa batasan, maka saya bukanlah lagi makhluk yang diliputi, tetapi saya adalah sesuatu yang meliputi semua batasan, dan itu hanya milik Tuhan.
Terlepas dari apakah kita beriman kepada-Nya atau tidak.
Mari kïta murnikan metafilsafat tanpa terlebih dahulu melibatkan Tuhan, kecuali sebatas wacana.
Dalam hal ini, telah jelas bahwa ruh berkehendak sejauh wilayah yang ditunjukkan oleh akal. Dan ini mencerminkan bahwa kehendak kita dapat berpindah dari satu batasan ke batasan yang lain.
Pergerakan kehendak ini menunjukkan gerak kebebasan yang walau terbatas, namun tidak dibatasi oleh batasan tertentu yang sempit.
MERUMUSKAN LANGKAH TERAKHIR
Bahwa kebebasan adalah hak kita. Bahwa meskipun kebebasan diartikan secara terbatas, tetapi tidak berarti mempersempit ruang gerak kita.
Kata Kuncinya ... JANGAN MEMPERSEMPIT KEMUNGKINAN YANG ADA
MANUSIAWI
Ber-metafilsafat seharusnya menegakkan kebijaksanaan secara manusiawi.
Itu yang sering dilupakan para filsuf. Mereka sedemikian ketat menjaga kemurnian cara mencapai kebenaran, tetapi ternyata mereka mengabaikan kemanusiaan mereka.
- ... Ditinjau dari konsep kebebasan, sudah seharusnya berfilsafat itu menjelajahi tanpa terbatasi di satu sisi saja.
- ... Ditinjau dari konsep keterbatasan, berfilsafat haruslah membatasi diri sejauh tidak dimungkinkan. Namun jika dimungkinkan maka jangan dibatasi.
- ... Ditinjau dari konsep akal, memang seharusnya berfilsafat itu lincah berstrategi mencari banyak peluang menuju kebenaran.
- ... Ditinjau dari konsep konsistensi, sudah seharusnya berfilsafat itu dapat menerima kebenaran dari sisi manapun selama ada kesinambungan terus menerus yang bermanfaat.
MetaFilsafat adalah upaya memanusiawikan filsafat (yang telah tergerus kemanusiaannya)
METAFILSAFAT
Berfilsafat sebenarnya adalah memahami sesuatu sebagaimana adanya, serta menerapkan apa yang kita ketahui secara tepat sesuai keadaan.
MetaFilsafat menjaga ruang gerak filsafat demi menjaga kemanusiaan-nya, agar mampu beradaptasi yang menyatukan keanekaragaman cara dalam mencari kebenaran dengan ...
- ... bersandar kepada pandangan dunia serta menjaga keseimbangan tanpa mempersempit ruang gerak (kemungkinan), atau
- ... bersandar kepada konsistensi serta berperilaku proporsional dengan tanpa mematikan peluang pengembangan potensi diri
- ... bersandar kepada aksioma serta menegakkan keadilan tanpa mematikan harapan
- ... bersandar kepada keimanan (agar tidak tersesat dalam melangkah) serta menjaga kepatuhan secara totalitas (untuk menjaga keseimbangan) dengan diiringi doa (kepasrahan) agar Tuhan dengan hidayah-Nya memberi yang terbaik.
Bentuk dari metafilsafat sebenarnya adalah ...
… Agama & teologi secara umum, karena keduanya menyatukan keanekaragaman dalam mencari kebenaran secara manusiawi — terlepas dari versi kemanusiaan manakah yang dianggap paling sesuai.
Paling tidak, bagi yang beriman seharusnya menyadari bahwa mereka telah ber-metafilsafat.
Bagi yang menolak agama & teologi sebagai bentuk dari metafilsafat, maka paling tidak harus menjaga …
Kemanusiaannya yang tak membatasi ruang gerak, potensi serta harapan kita sebagai manusia
Jadi, apa & bagaimanakah metafilsafat itu? Anda seharusnya telah memahami ...