Ada standard (yang kebanyakan di) baku(kan), bahwa negasi adalah kontradiksi, lalu penegasan universalitas, juga tentang menarik kesimpulan tanpa “middle term”.
Tidak ada penyangkalan terhadap aturan penalaran sebelumnya, hanya saja lebih diperluas.
OUT OF THE BOX
Bisakah kita keluar dari logika? Keluar dari logika yang manakah? Keluar ke wilayah yang lebih luas. Jadi tidak ada pengabaian terhadap logika yang telah kita kenal (dari aristoteles & logika lainnya).
Justru mengabaikan logika formal merupakan kesalahan fatal, tetapi merangkul semuanya sehingga kita dapat melihat lebih luas realita yang dipegang oleh logika formal serta logika lainnya.
Ini diperlukan agar kita dapat tetap memegang logika formal aristoteles, tetapi juga dapat keluar dari logika arirtoteles itu sendiri, sehingga dapat memahami dimensi KeTunggalan lebih luas.
Ibaratnya, logika formal bagai 2 dimensi, sedangkan memperluas logika bagai menelusuri kedalaman realita 3 dimensi atau lebih.
METODE PERLUASAN
Perluasan dilakukan dengan melibatkan aksioma serta penelusuran imajinatif (gedanken experiment.
Sebuah upaya memperjelas dimensi logika melalui pendekatan realita yang jernih.
Tujuannya agar kita dapat menyadari secara penuh terhadap realita sehingga dapat:
- melihat sudut tersembunyi yang tak dapat terdeteksi melalui pendekatan penalaran yang umum.
- juga berpeluang besar kita dapat melihat hikmah dari sudut tersembunyi tersebut
Kita dapat melihat sesuatu secara apa adanya dan menerapkan yang kita ketahui secara sebagaimana seharusnya.
UNIVERSAL & PARTIKULAR
Ketika kita berkata bahwa "semuanya adalah begini & begitu", maka ini tidak valid, karena "semua" harus meliputi seluruh jagad yang ada untuk memastikannya.
Universalitas hanyalah nilai statistik yang menegaskan "umumnya", "kebanyakan", tidak berbeda seperti partikular, hanya saja "universal" lebih banyak kecenderungannya dibandingkan "partikular"
Dan mengenai pengganti "universal" sebagai "keberpasangan". disinilah bukti bahwa "aksioma tidak selalu terbukti benar dengan sendirinya"
"Benar dengan sendirinya" sebenarnya bisa diganti dengan "benar sesuai jenis pengalamannya sendiri yang valid karena pengalamannya membuatnya sadar secara penuh tentang kebenarannya"
Aksioma yang dianggap mereka benar karena pengalamannya, boleh jadi tidak benar bagi mereka yang pengalamannya berbeda jurusan.
Karena benar dengan sendiri sebenarnya melibatkan sadar penuh sesuai dengan tingkat kesadarannya sendiri-sendiri.
KEBERPASANGAN
Dalam hukum aksioma ...
Tidak ada atribut "semua" atau "sebagian", tidak ada universal & tiada partikular
Kata penggantinya hanya satu ... selalu ada pasangannya.
Jadi ketika kita berkata "semua manusia yang hidup pasti mati" ... aksioma sepakat berkata "selalu ada manusia hidup yang tidak mengalami mati"
“Semua yang bernafas akan mati”, aksioma akan berkata juga, "tidak semua", "ada yang bernafas yang tidak mati".
Kalau kita membantah, dengan membuat proposisi yang terkesan aksiomatis "semua yang hidup pasti dimatikan Tuhan", maka aksioma akan berkata "itu bukan aksioma, ini yang aksioma” … "ada yang hidup dan tidak dimatikan Tuhan"
Contoh: “ada yang hidup dan tidak dimatikan Tuhan"
Ini aksioma, hanya saja pembenaran dengan sendirinya melibatkan tataran kesadaran (pengalaman) penuh yang berbeda
Tetapi secara keimanan sebenarnya di isyaratkan dengan Nabi Khidr.
Tetapi bagi saya sendiri tidak perlu contoh, karena aksioma adalah kebenaran universal. Keimanan saya seharusnya 100% kokoh tanpa bukti.
Hanya saja bagi mereka yang kesadaran penuhnya berbeda, maka pendekatan keimanan diperbolehkan.
KESETARAAN & EQUIVALEN
Memahami kesetaraan melalui proposisi:
- A = setiap sesuatu dan sesuatu itu buku pasti bukunya berwarna merah (disini kesadaran kita mengarah kepada seluruh buku yang berwarna merah)
- B = jika ada sesuatu dan sesuatu itu buku, pasti bukunya berwarna merah (disini kesadaran kita mengarah kepada satu buku saja di wilayah A, yang berarti bukunya berwarna merah, tetapi tidak ditegaskan ke buku lainnya di wilayah yang sama - A)
=> jika A maka B, lalu apakah jika B maka A , equivalen?
Skenario A
Dari sisi pemahaman equivalen secara umum (bukan secara imajinatif), maka banyaknya buku di wilayah A dibandingkan B tidak equivalen. dalam arti begini: menunjuk A sama saja menunjuk seluruh anggota A, tetapi menunjuk B maka hanya menunjuk salah-satu anggota A saja.
Skenario B
Tetapi dari sisi gedanken experiment (penalaran imajinatif) bisa dilihat kesetaraannya. dalam arti begini: menunjuk A sama saja menunjuk seluruh anggota A, tetapi menunjuk B maka ini berarti juga menunjuk wilayah A sehingga sebenarnya wilayah kesadaran diarahkan ke area yang sama - A
Tidak Equivalen
Kita menganggap bahwa B hanya menunjuk ke sebagian realita, kita tidak mengetahui realita selebihnya. (jika A maka B, jika B tidak berarti A) , (jika A benar, maka B bagian dari A juga benar | jika B bagian dari A benar, tidak berarti seluruh bagian A seperti B)
Setara
Kita menganggap bahwa B menunjuk ke wilayah A, sehingga kita mengetahui realita selebihnya di A. (jika A maka B, jika B berarti A) , (jika A benar, maka B bagian dari A juga benar | jika B bagian dari A benar, berarti seluruh bagian A seperti B sebagaimana yang telah diketahui)
KONTRADIKSI
Bagaimana sebenarnya melihat hal yang (di duga) kontradiktif?
Contoh: “jaka berjalan ke sana” berkontradiksi dengan”jaka tidak berjalan kesana”. Tetapi dalam realita ternyata “jaka berjalan kesana dan juga tidak berjalan kesana”. Ini diartikan bahwa “jaka berjalan (dengan mobil) ke sana … tidak bertentangan (tidak kontradiktif) dengan “jaka tidak berjalan (tetapi naik mobil) kesana”.
Ada dua momen disini, ketika ditanya “kemanakah jaka?” mereka menjawab “jalan ke arah sana”, tetapi sesaat kemudian setelah kita kejar dengan berjalan kaki dan tetap tidak bertemu di jalan, lalu kita bertanya tentang jaka dalam perjalanan menemuinya “jaka kemana?” orang disitu yang mengenal jaka menjawab “dia naik mobil ke arah sana”.
Disini kita melihat kontradiksi, tadi katanya “jaka jalan” ternyata “jaka naik mobil”. Kalau jalan ya ga naik mobil, kalau naik mobil ya ga jalan. Tidak mungkin kedua-duanya: ya berjalan dan tidak berjalan.
Disinilah kita tidak terjebak kontradiksi tetapi terjebak oleh kesalah-pahaman.
PARADOX
"Saya yakin bahwa di dunia ini tidak ada yang pasti”
“Jangan melarang, berilah orang lain kebebasan”
“Semakin banyak memberi semakin banyak menerima”
Untuk apakah paradox selain hanya membingungkan. Apakah ini suatu cara untuk bergaya dalam bertutur kata agar terkesan penuh hikmah, filosofis? Tidak!
Ini sebenarnya dnpersiapkan oleh mereka yang telah melewati tahap perenungan dalam atau yang telah mencapai pencerahan, sebagai
+cara shortcut/pintas mengingat suatu kebijaksanaan+
Satu pernyataan sederhana yang paradoksikal, mampu mengingatkan kita tentang titik utama kebijaksanaan.
Contoh sederhana:
“semakin jauh berarti semakin dekat” tentu ini perlu penjelasan lebih lanjut agar tidak membingungkan. Jika kita telah mengetahui hikmah dibalik ini, maka jika suatu ketika kita menghadapi perjalanan panjang menuju sukses dan kita merasa kelelahan (berputus-asa), bisa jadi setelah cukup berpikir untuk mengatasi keadaan keputus-asaan, sistem pengingat melihat kemiripan (analogi) yang memancing timbulnya pernyataan ini “semakin jauh berarti semakin dekat” (mendadak muncul di benak kita), sehingga mendadak kita tersadarkan keterkaitan antara pengalaman kita dengan hikmah yang tercetus bahwa “semakin jauh kita melangkah maka sebenarnya semakin mendekatkan kita ke tujuan”
Mengapa hal seperti ini perlu? Karena terkadang dalam kondisi kritis, sulit bagi kita memahami hikmah yang panjang dengan cepat. Diperlukan pemicu yang sederhana dalam bentuk ungkapan sederhana yang mudah diingat atau jika lupa nantinya akan mudah tercetus.
Hal lain, ungkapan paradoksikal untuk
+menyembunyikan rahasia kebenaran cukup dalam+
… sehingga hanya orang tertentu saja yang dapat meraba (menduga) secuil kebenaran dan mereka yang tak (atau belum) berhak, dapat menjauhi demi ketentraman dirinya.
Bagi mereka yang sedang atau baru saja menemukan kebenaran dan menemukan sindiran (paradoksikal) yang sesuai, maka semakin yakinlah mereka.
Dalam etika keagamaan di manapun serta kebijaksanaan dimanapun, ketika suatu pengetahuan dapat membawa dampak tidak menentramkan (tidak menyamankan — sangat membingungkan), tetapi tetap harus diungkapkan, maka jalan tengahnya adalah dengan melakukan sindiran atau pengungkapan puitis , paradoksikal.
PERUMPAMAAN
Jika segala cara sejauh pemahaman kita, sulit menjelaskan sesuatu, maka perumpamaan dapat digunakan atau melalui contoh kehidupan sehari-hari.
PRINSIP IDENTITAS
Sesuatu hanya sama dengan dirinya sendiri: A = A
Tetapi dalam realita, tidak demikian. Mengapa? Karena keadaan selalu berubah dari waktu ke waktu. A saat ini akan berbeda dengan A nanti. Lalu manakah yang kita maksud sebagai A yang kita tunjuk bukan lagi sebagaimana A yang lampau.
A = A dapat diartikan “A dulu = A sekarang (baru saja)”
Contoh paling menyolok ada pada bahan radioaktif “R”. “R” ≠ “R” karena “R” yang kita tunjuk sekarang mengalami peluruhan radioaktif sehingga kadarnya tidak sama lagi.
DIMENSI PENALARAN
Ini semua adalah dimensi penalaran, dimana kesadaran kita diarahkan kepada suatu keterhubungan tertentu yang membawa kebaikan bagi kita.
Karena bernalar itu adalah mencari keterhubungan. Terlepas dari apakah keterhubungan disadari melalui logika atau merasa.
Jika ada yang berkata, bernalar dengan rasa itu mustahil, karena tidak dapat mengenali universalitas/partikular, ini salah! Karena justru perasaan yang sensitif mampu merasakan gradasi dari suatu kebenaran.
Daripada mengatakan bahwa menalar dengan rasa tidak akurat dibanding menalar dengan akal, lebih baik katakan, pilihlah penalaran yang paling dikuasai. Karena bahkan jika kita melatih perasaan kita, juga kesadaran kita diperluas, maka penalaran kita lebih luas pula.
Di titik tertinggi, tidak lagi penalaran yang kita lakukan (dengan menelusuri keterhubungan) tetapi menyelami jalur penalaran itu sendiri, berada di jalur penalaran itu sendiri, sehingga melampaui cara bernalar yang umumnya dikenal dengan proposisi.
— — —
Untuk apakah upaya perluasan dimensi penalaran ini?
Agar kita dapat lebih luas menyadari sesuatu, sehingga dapat melihat detail lebih baik lagi serta peka — sensitif (penuh kewaspadaan) terhadap hal yang samar diantara detail yang ada.