Tuhan Itu Ada (Argumentasi Ada & Tiada)

Seremonia
6 min readMay 3, 2022

--

Argumentasi saya didasarkan kepada kebenaran axiomatis dan konsekuensi konsekuensinya.

Beranikah anda menerima kebenaran ketika ia hadir, walaupun anda merasa ada keanehan dengan yang dialami sehari-hari ?

Dan beranikah anda tidak bersepakat tentang suatu kebenaran bukan karena kebenaran tersebut dirasa janggal tidak sesuai dengan pengalaman sehari-hari, tetapi karena anda memang belum paham atau mengakui sebagai ketidakbenaran lalu bersedia berdiskusi lebih lanjut ?

Sebenarnya bagi suatu dugaan kebenaran yang terbukti melanggar salah satu saja dari axioma, sudah menunjukkan ketidak-validan sesuatu dugaan kebenaran tersebut (menjadi tidak benar).

Hanya saja ada beberapa orang yang mungkin tidak semudah itu memahami suatu axioma tertentu, maka saya sertakan dua axioma, agar salah satu ada yang dapat dipahami dan pada akhirnya dapat diketahui dimanakah letak pelanggarannya.

Axioma:

  1. Ketiadaan tidak memiliki wilayah, maka keberadaan memiliki wilayah adalah benar
  2. Sesuatu tidak dapat melampaui dirinya sendiri kecuali mendapatkan penambahan dari lainnya

Konsekuensi 1:

Uji Penciptaan (dari tiada ke ada):

  • “Ada” berasal dari “tiada” = “adanya sesuatu” berasal dari “yang tidak memiliki wilayah” = “adanya sesuatu (yang memiliki wilayah)” berasal dari “yang tidak memiliki wilayah” = “wilayah” berasal dari bukan wilayah” = “yang tidak memiliki wilayah” dapat menghadirkan “wilayah” = “yang tidak memiliki wilayah” (harus) memiliki wilayah bagi kehadiran “wilayah” lainnya = “ketiadaan memiliki wilayah” = MELANGGAR AXIOMA TENTANG KETIADAAN

Ini menegaskan bahwa:

  1. Penciptaan adalah bukan dari “tiada” menghadirkan “ada”, melainkan dari “ada” menghadirkan “ada” lainnya
  2. Penciptaan selalu terjadi di suatu wilayah (keberadaan), sehingga penciptaan dari “ada” menghadirkan “ada” lainnya adalah merupakan “menghadirkan sesuatu di dalam keberadaan”.

Konsekuensi 2:

Uji Penciptaan (dari ada ke ada):

  • Penciptaan dari “ada” menghadirkan “ada” lainnya adalah merupakan “menghadirkan sesuatu di dalam keberadaan” yang menambah luas sebelumnya,
  • sehingga sebelum adanya penciptaan, hanya ada wilayah tertentu, dan setelah penciptaan, maka ada penambahan wilayah,
  • sehingga penambahan wilayah ini merupakan perluasan dari wilayah sebelumnya, maka wilayah yang baru tidak bersandar kepada wilayah terdahulu, melainkan wilayah yang baru berdampingan dengan wilayah yang lama,
  • sehingga dari wilayah yang terdahulu telah menghadirkan wilayah lainnya, sehingga telah terjadi yaitu, wilayah dapat bertambah oleh dirinya sendiri, yang berarti juga bahwa, wilayah yang baru berasal dari ketiadaan = ...

... MELANGGAR AXIOMA TENTANG PERLUASAN ATAU MELANGGAR AXIOMA TENTANG KETIADAAN

Ini menegaskan bahwa:

  1. Penciptaan selalu merupakan menghadirkan “keberadaan yang diliputi” lainnya.
  2. Lenyapnya sesuatu “ada” yang dihadirkan harus selalu masih di wilayah (keberadaan), sehingga hadirnya sesuatu selalu berasal dari keberadaan, dan tidak hadirnya sesuatu selalu masih harus di wilayah (keberadaan).

Argumentasi:

  1. Jika tidak ada penciptaan di segala penjuru, maka tidak akan ada kehadiran lebih lanjut di segala penjuru, sehingga tidak ada kehadiran yang baru, melainkan hanya ada keberadaan yang telah hadir yang masih dapat bertahan sampai saat ini, sehingga jika ada penciptaan secara terus menerus, maka akan selalu ada kehadiran baru secara terus menerus yang merupakan hadirnya keberadaan yang diliputi lainnya, dan bukannnya kehadiran Yang meliputi lainnya = Konsekuensi 2, Butir 1.
  2. Jika seluruh keberadaan yang melalui proses penciptaan (dihadirkan) ditiadakan, maka ketiadaan keseluruhan dari keberadaan tersebut masih selalu di wilayah (keberadaan), sehingga menelusuri mundur sejarah penciptaan dari telah hadirnya segala sesuatu yang pernah diciptakan (dihadirkan) kepada masa dimana keberadaan hasil ciptaan tersebut belum pernah hadir, maka selalu ada keberadaan yang lebih luas (meliputi) dari seluruh keberadaan yang pernah dihadirkan, sehingga selalu berakhir kepada Yang Meliputi yang sama (bukan Yang Meliputi lainnya) = Konsekuensi 2, Butir 2.
  3. Jika DIPAKSAKAN bahwa selalu ada pencipta Tuhan, atau Yang Meliputi selalu menjadi yang diliputi oleh yang meliputi lainnya, maka ini sama saja menegaskan telah terjadi penciptaan, MAKA mengandaikan adanya penciptaan yang meliputi, sama saja menyatakan adanya kehadiran keberadaan yang baru, dimana kehadiran yang baru ini merubah pemahaman yang meliputi menjadi yang diliputi, maka telah terjadi pelanggaran terhadap axioma 1 ATAU axioma 2. Atau jika dipaksakan juga, maka penciptaan itu hanyalah merupakan menghadirkan keberadaan yang diliputi lainnya, yang merupakan penciptaan dari “ada” ke “ada” lainnya, dan bukannnya menegaskan terjadinya penciptaan dari tiada ke ada = Konsekuensi 1 butir 1 ATAU 2.

Ini menegaskan bahwa:

  • Jika tidak ada keberadaan tak berawal, maka ini adalah benar sejauh keberawalan secara terus menerus menunjukkan adanya penciptaan (menghadirkan) keberadaan secara terus menerus di wilayah (keberadaan) itu sendiri (Yang meliputi segala keberadaan yang berawal)

Ketiadaan tak berawal memberikan konsekuensi bahwa penciptaan keberadaan secara terus menerus (yang meliputi diciptakan oleh yang meliputi lainnya) melibatkan penciptaan dari ketiadaan (melanggar axioma 1 ATAU 2)

MAKA:

  • Penelusuran mundur bahkan jika dianggap ketakterbatasan di dalam penelusuran mundur sebagai dimungkinkan, tetap menegaskan tidak adanya penciptaan dari tiada menjadi ada, sehingga diambil dari titik yang paling akhir di dalam proses penciptaan sejauh berapapun selalu dapat ditelusuri mundur kepada keberadaan yang meliputi keseluruhan keberadaan yang diciptakan Yang Merupakan Keberadaan Tak Berawal.

MAKA:

  • Adanya Keberadaan Tak Berawal adalah merupakan keberadaan yang meliputi segala keberadaan yang diciptakan (yang diliputi).

Sampai disini, jika anda masih saja terjebak oleh persepsi yang terbiasa oleh adanya sesuatu yang melingkupi, bahwa di luar lingkaran masih ada lingkaran, maka saran saya kembali kepada penalaran logis, dan biarkanlah penalaran berkata apa adanya.

Bahkan ketika perasaan, atau persepsi kita telah membuat kesadaran kita sulit menerima kenyataan ini, tetapi justru disitulah tantangan bagi anda seorang pejuang pencari kebenaran.

Dimana ketika di awal pencarian sedemikian bersemangat untuk mengabaikan perasaan ataupun jenis persepsi atau kesan apapun yang dianggap tidak masuk akal, maka segera setelah logika menegaskan kebalikannya, sudah seharusnya kita menerima kebenaran, betapapun terasa anehnya.

Karena seaneh atau sejanggal apapun suatu kebenaran, haruslah diterima oleh kita ketika logika kita menyepakatinya, dan abaikan kesan seolah-olah tidak masuk akal dikarenakan persepsi kita terjebak oleh pengalaman sehari-hari.

Pada mulanya sikap tegas seperti ini (menerima kebenaran secara apa adanya yang bertentangan dengan persepsi di kehidupan sehari-hari) pada beberapa orang menimbulkan "lubang" (kekosongan, missing link dengan perbandingan di dalam kehidupan sehari-hari) di dalam perasaan, seolah-olah tidak masuk akal, janggal dst.

Sekali lagi, beranikah anda menerima kebenaran ketika ia hadir, walaupun anda merasa ada keanehan dengan yang dialami sehari-hari ?

Dan beranikah anda tidak bersepakat tentang suatu kebenaran bukan karena kebenaran tersebut dirasa janggal tidak sesuai dengan pengalaman sehari-hari, tetapi karena anda memang belum paham atau mengakui sebagai ketidakbenaran lalu bersedia berdiskusi lebih lanjut?

Jika suatu kebenaran disetujui di dalam pemikiran anda secara diam-diam oleh penalaran anda, tetapi segera setelah diperbandingkan dengan kebiasaan anda di dalam mempersepsi kehidupan sehari-hari menganggapnya sebagai kejanggalan, maka sebenarnya anda telah tidak bersikap logis. Mengapa ?

Ini berarti anda mengharuskan adanya pembuktian di dalam kehidupan sehari-hari, yang berarti untuk setiap prinsip kebenaran di dalam penalaran juga harus terbukti di dalam kehidupan sehari-hari, dan juga berarti harus terbukti di segala penjuru semesta (atau jika anda setuju kebenaran terbukti hanya di kehidupan sehari-hari, maka anda sama saja berpegang kepada probabilitas yang kemungkinannya di tempat lain yang tidak pernah dapat anda kunjungi dapat merubah nilai kepastiannya).

Oleh karenanya hanya ada pilihan untuk menerima suatu kebenaran yang axiomatis sebagai memang benar sejauh memang benar walaupun penilaian berdasarkan pengalaman anda dirasakan janggal, maka kebenaran axiomatislah yang menang.

Segera setelah suatu kebenaran axiomatis diketahui, maka ia tidak akan pernah bertentangan dengan kebenaran axiomatis lainnya bahkan juga tidak bertentangan dengan kenyataan empirik yang bagaimanapun. Kegagalan di dalam hal ini, hanyalah dikarenakan kesalahan di dalam memahami sesuatu sebagai merupakan kebenaran axiomatis padahal bukan.

Subyektif di dalam menguji kebenaran axiomatis ? Saya terima, dan sepakatkah anda terhadap kebenaran axiomatis yang saya jelaskan disini ? Ya atau tidak ? Saya terima juga. Akhirnya kita hanya berusaha untuk bersepakat, dan setelah diperoleh kesepakatan, maka ditindak-lanjuti secara berbeda.

Sepakat atau tidak, subyektif atau tidak, paling tidak kita telah berusaha sebaik mungkin.

Sampai disini, dapatkah anda berani menerima kebenaran ? Masih panjang perjalanan, dan ini hanya satu tahap untuk disepakati dan berlanjut ke tahap lainnya, atau tidak bersepakat dan kembali kepada awal pencarian.

--

--

Seremonia
Seremonia

No responses yet