Pandai & Bodoh — Kebodohan Yang Berpengetahuan

Seremonia
4 min readJun 13, 2022

--

Banyak ungkapan “semakin aku tahu, semakin ternyata aku tak tahu”.

Kalau yang ini “aku tahu bahwa ternyata aku tak tahu”, bisa dipahami seperti ini “dulunya tak tahu, lalu sekarang jadi tahu”, berarti semakin tahu, semakin terlihat jejak ketidaktahuannya.

Tetapi bagaimana jika seperti ini, bahwa “semakin aku tak tahu, semakin ternyata aku tahu”?

Ini berarti “semakin tak tahu, semakin terlihat jejak dari banyak yang terlupakan”.

Hikmah apa yang kita peroleh dari menyadari hal ini?

  • Semakin tahu, semakin terlihat jejak ketidaktahuannya

Ini untuk menyadarkan kita agar tidak angkuh merasa sok tahu

  • Semakin tak tahu, semakin terlihat jejak dari banyak hal diketahui sebelumnya yang terlupakan

Ini menunjukkan bahwa semakin banyak yang kita lupakan, semakin banyak hal yang kita tahu sebelumnya bukan milik kita. Semua yang kita tahu ternyata bukan dari kita, tetapi sesuatu yang dipelajari, sesuatu yang diajarkan kepada kita.

Manfaat apakah yang diperoleh setelah menyadari hikmahnya?

  • Tidak angkuh sok tahu, tentu memperingatkan kepada kita bahwa siapapun yang menjaga sikap sok tahunya, akan berakhir kepada lawan dari tahu, yaitu kebodohan yang tak terselamatkan. Kebodohan yang tak berpengetahuan.
  • Semua yang kita tahu ternyata bukan dari kita, tetapi sesuatu yang dipelajari, sesuatu yang diajarkan kepada kita. Ini menyadarkan kepada kita bahwa tidak ada gunanya merasa pandai, tetapi lebih berguna untuk berharap memperoleh pengajaran.

Bahwa selama ini, tidak ada orang yang pandai. bahwa selama ini hanya ada orang yang selalu diajari.

Tetapi bagaimana jika dipaksakan konsep pandai agar diterima? Berarti, orang bodoh itu bukan orang yang tak berpengetahuan. dan orang pandai juga bukan orang yang berpengetahuan. Melainkan bahwa:

  1. yang bodoh itu adalah mereka yang keras kepala tanpa pertimbangan yang masuk akal, sehingga selalu tak mau diajari
  2. yang pandai itu adalah mereka yang tak keras kepala dan mau mempertimbangkan melihat kemungkinan, sehingga mau diajari.

Jangan diputar balikkan, “yang diajari justru dapat kesulitan”, dan “yang tak diajari justru berhasil”. Ini secara aksiomatis suatu kekeliruan, karena tidak ada orang yang tak diajari.

  • Semuanya diajari, disadari atau tidak …
  • Semuanya tidak pernah mendadak tahu, tetapi diberitahu, disadari atau tidak.

Singkatnya …

Orang pandai adalah yang mau menerima nasehat, sedangkan yang bodoh adalah yang sok tahu sehingga tak mau menerima pengajaran

Pertanyaannya, adakah bentuk pengajaran lain dari yang selama ini kita peroleh? Karena bukankah kita pernah diajari, lalu adakah suatu bentuk pengajaran yang berbeda? Ya. Pengajaran yang melibatkan hidayah.

Pengajaran

Ketika seseorang membuat ruang hampa udara, maka tidak perlu memaksa memasukkan sesuatu dari luar ke dalam ruang hampa udara.

Cukup fokus mengarahkan pintu perenungan terbuka sedikit saja, maka udara dari luar akan segera masuk ke ruang hampa udara sampai terbentuk keseimbangan antara tekanan dalam & tekanan luar.

Dan ketika tekanan luar & dalam seimbang, kita akan tahu tak adanya aliran pengetahuan yang datang, karena telah cukup. Disitulah kita memahami adanya pengetahuan aksiomatis.

Dalam realita, cara mendownload (memasukkan) pengetahuan dari akal ke dalam ruang pemahaman kita secara otomatis, adalah dengan mengosongkan ruang pemahaman (ruang pengetahuan) kita. Caranya?

Dengan menyadari bahwa ternyata “saya itu bodoh”.

Semakin bodoh semakin hampa udara pemahaman — ruang pengetahuan

Lalu, bagaimana caranya membuka pintu ruang hampa udara (ruang kebodohan = ruang hampa pengetahuan)?

… Dengan memohon kepada-Nya agar memperoleh jawaban

Di sini kebodohan tidak digantikan dengan kepandaian, tetapi digantikan dengan pengajaran. Artinya?

Artinya, setelah menyadari secara terpaksa — diusahakan sedemikian rupa sehingga yakin kalau diri kita bodoh, ini tidak berarti cepat atau lambat jadi pandai, tetapi kita diajari jadi paham akan duduk perkara & mengetahui harus kemana meminta pertolongan. Banyak cara, tetapi tidak berarti selalu ada jawaban.

Bagaimana kita membodohkan diri? Ini sulit bagi mereka yang memang memahami jawabannya. Ada beberapa cara.

Keimanan

  1. Keimanan bahwa hanya Tuhan Yang Maha Tahu, Maha Bijaksana
  2. Bahwa pengetahuan semua dari-Nya
  3. Semua pinjaman dari-Nya

Kalau semua cara tersebut sulit? Terpaksa pakai cara yang sulit, yaitu …

Bersyukur

Ketika sempat sekali saja pernah bingung dan berhasil di atasi, maka syukuri dengan sedemikian penuh perasaan seperti:

  • telah terhindar dari bencana alam yang mematikan, atau
  • telah berhasil memperoleh apa yang disukai
  • telah berhasil memperoleh apa yang diinginkan
  • telah berhasil memperoleh apa yang diperlukan
  • telah berhasil memperoleh apa yang diharuskan

Tanpa Ego — Kalah

Bersedia kalah demi kebenaran. Karena ketika keangkuhan tetap menguasai, berarti tak mau diajari, lalu bagaimana mungkin Sang Kebenaran mau mengajari.

Sok Tahu?

Sok tahu? Jangan khawatir, selalu ada saatnya kita bersalah, dan sok tahu hanyalah sikap keras kepala tanda kebingungan. Namun ketika berubah menjadi fasik (rajanya keras kepala, rajanya licik, rajanya bandel), maka jadilah keras kepala tanda keangkuhan

Demikianlah, ketika keimanan, rasa syukur YANG KUAT & TERIMA KALAH DEMI KEBENARAN (bukan demi kejahatan), membuat kita sadar diri betapa semakin bodohnya kita dari hari ke hari, maka semakin hampalah ruang pengetahuan, dan semakin secara otomatis “pengajaran” akan kita dapatkan.

SEKALI LAGI, menghampakan ruang pengetahuan, bukan membuat kita pandai, tetapi memperoleh pengajaran. Ini tidak berarti cepat atau lambat jadi serba tahu, tetapi kita diajari jadi paham akan duduk perkara & mengetahui harus kemana meminta pertolongan. Banyak cara, tetapi tidak berarti selalu ada jawaban.

--

--

Seremonia
Seremonia

No responses yet