METAFilsafat: KESADARAN, KEBEBASAN & SEBAB-AKIBAT - Memahami Batas dalam BerFilsafat
Jika sebabnya mengetahui akibatnya, maka sebatas mengetahui akibatnya tanpa menghalangi akibatnya, karena mengetahui bukan berarti memaksa, melainkan sekedar mengetahui
Kebebasan
Jika sebabnya berkuasa atas akibatnya, maka ciri kekuasaan akibatnya bergantung kepada sebabnya, sehingga jika sebabnya mencirikan kebebasan maka akibatnya juga mencirikan kebebasan, meskipun kebebasannya terbatas.
- Contoh: bola dalam genggaman kucing akan memiliki ciri kebebasan atau ciri keterbatasan yang lebih kecil dibandingkan bola dimainkan di tangan anak kecil yang akan lebih berkurang lagi keterbatasannya (lebih bebas) ketika bola dimainkan orang dewasa.
Teritori - Kontekstual
Lalu siapakah yang berbuat ketika manusia berbuat❓Siapakah yang berbuat ketika akibat berbuat❓Tentu perbuatan akibat tak berdaya tanpa perbuatan sebab.
Teritorinya antara sebab & akibat berbeda. Jka akibat tak menyadari dirinya, maka yang berbuat adalah sebabnya, dan jika akibat menyadari dirinya sebagai akibat dan tak menyadari sebagai sebab, maka perbuatan apapun dari akibat adalah perbuatan sebab namun keputusan dari akibat.
❇️ Sebab Memberi Kuasa Atas Akibat, Dan Perbuatan Yang Disadari Oleh Akibat Berasal Dari Akibat
Sehingga pertanyaan "siapakah yang berbuat buruk, ketika perbuatan kita tak bisa terjadi tanpa kuasa-Nya"❓Jawabannya adalah kita yang berbuat baik / buruk namun perbuatan tersebut berasal dari kuasa-Nya demi kebebasan kita
- ⭕️ Jika anda membantah bahwa kesadaran itupun dari-Nya, yang berarti diakui adanya teritori, namun keadaan kesadaran sebagai akibat tentu berbeda, sehingga ada teritori yang berhak memutuskan karena kuasa-Nya
Di titik ini, atau cara berpikir universal seperti ini, menegaskan tak hanya "kebebasan kita yang meskipun terbatas tetap menunjukkan ciri keterbatasan", namun juga tak terjebak "bias kognitif" ✅ mengira kita (akibat) adalah Tuhan (Sebab Mutlak) ❌
♦️Atau kalau mau diperluas lagi bantahannya, maka ...
- ⭕️ Jika kita menganggap tak punya dosa karena semua berasal dari-Nya, maka kita balik bahwa "sebab"nya bermain & beraksi dengan diri-Nya sendiri dan bahwa sakitnya kita, derita kita juga dialami oleh-Nya sepenuhnya ❌ . Yang jika demikian, maka sebab mutlak menyakiti dirinya sendiri ❌ Suatu bantahan yang membawa kepada absurdnya menalar
Jadi memahami hubungan sebab akibat harus menyadari batas tipis tersamar agar menyadari hirarki kebergantungan teritori yang tak bisa disetarakan, karena kita tak pernah setara dengan-Nya (akibat tak setara dengan sebabnya)
JADI❓Kita bebas terbatas, juga memiliki teritori berkesadaran sebagai kesadaran akibat, sehingga perbuatan buruk kita tak bisa diarahkan ke penyebabnya
Ini sama seperti kasus bias kognitif (gagal mempersepsi) ketika mengatakan "Tuhan menciptakan baik / buruk, maka Tuhan punya sisi jahat" ❌ Di titik ini mereka tak bisa mengatasi ini jika sebatas mengandalkan kewaspadaan terhindar dari "logical fallacy". Karena justru logical fallacy akan membenarkan jahatnya Tuhan berdasarkan nalar yang dikenal. Tetapi mereka lupa bahwa dibalik nalar sebab akibat yang bisa menjebak, ada persepsi kita yang lemah yang menjadi akar dari logical fallacy, yang jika bias kognitif diatasi akan nampak bahwa "Tuhan jahat" adalah tak masuk akal. Bagaimana ini bisa terjadi❓
Problem Of Evil
Karena hanya ada satu Tuhan, maka kita tak bisa membandingkan di antara Tuhan mana Tuhan yang baik / buruk.
Sedangkan di dimensi kita, ada baik / buruk karena keadaan kita bisa diperbandingkan dengan orang lainnya.
❇️ Tuhan tidak baik / buruk melainkan benar - Sang Kebenaran (Maha Benar)
Dalam berfilsafat, sering kita terjebak permainan kata, mengutak-atik makna sehingga terjebak terbolak-baliknya makna tumpang tindih tanpa disadari, karena untuk setiap elemen yang dinalar tak dihubungkan ke realita apa adanya, sehingga terkena bias kognitif (gagal mempersepsi)
🔰 Intinya, dalam berfilsafat harus bisa membedakan mana yg pengetahuan, mana yg pengalaman dan banyak hal lain tentang batas (teritori - konteks - wilayah), agar tak salah memposisikan karena salah pengamatan